Sabtu, 24 November 2012

SUTAN SYAHRIR


Biografi Sutan Syahrir









Sutan Syahrir berasal dari keluarga Minangkabau yang cukup terpandang dan disegani di Koto Gedang, Sumatera Barat. Kakek dan ayahnya merupakan jaksa yang bekerja bagi pemerintah Hindia Belanda. Dalam tubuh Sutan Sjahrir juga mengalir darah bangsawan Mandailing Natal, Ibunya merupakan keturunan langsung dari Tuanku Besar Sintan dari Natal (Mrazek, 1996: 4-5). Jadi sejak kecil Sjahrir telah menikmati kemapanan ekonomi dan kehidupan keluarga yang modern.
Perawakan Syahrir pendek: 1,60 meter lebih sedikit. Suka tertawa lepas, sorotan mata ramah dan bersahabat. Syahrir Lahir di Padang Panjang, Sumatera barat, 5 Maret 1909. Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Sutan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih, asal Kota Gadang, dengan jabatan terakhir: Kepala Jaksa pada/Landraad (Pengadilan Negeri) di Medan (Anwar, 2011: 9).
Ibunya bernama Poetri Siti Rabiah, putri Soetan Soeleiman (Kota Gadang) dan Puti Djohor Maligan (cucu Tuanku Besar si Intan dari Natal, Sumatra Utara) dari daerah pantai bagian selatan Tapanuli, dari keluarga raja-raja local Swapraja (sutansjahrir.com).
Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal diHindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit(id.wikipedia.org).
Pendidikan Barat yang diperoleh Sjahrir tidak hanya diperoleh di Hindia, setamat AMS ia melanjutkan studi ke Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di negeri Belanda, Sjahrir menjalani kehidupan yang berbeda dengan di Hindia. Kehidupan di negeri Belanda memperkenalkan Sjahrir pada kehidupan yang bebas. Ia tertarik pada sosialisme, terlibat dalam Perkumpulan Mahasiswa Sosial Demokrat Amsterdam, dan banyak membaca buku-buku mengenai sosialisme. Selain itu, ia juga melibatkan diri dalam gerakan Sarekat Buruh dan bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transport Internasional (Mrazek, 1996: 92).
Ia berkembang dalam iklim Barat dengan pola pikir Barat dan hampir-hampir tidak ada lagi kesan bahwa sebenarnya orang Indonesia dengan pola pikir yang dimilikiya dan berkembang sangat baik. Menurut teman-temannya di Belanda, Sutan Sjahrir menyelami sosialisme sangat dalam hingga bergaul sangat bebas dengan kelompok sosialis. Ia sangat memahami teori-teori sosialisme berkat pergaulan dalamnya dengan kelompok sosialis Belanda(sosok.kompasiana.com).
Berikut adalah data-data biografi Sutan Syahrir yang dikutip dari sutansjahrir.com, yaitu Pernikahan : 1. 1939 – 1948 : Pernikahan dengan Ny. Maria Duchateau (dilangsungkan dengan surat kuasa, serentak di Negeri Belanda, tempat domisili Ny. Maria Duchateau) dan di Pulau Banda Neira, (tempat St. Sjahrir diasingkan oleh Belanda). Karena pecah perang dunia ke-2, istrinya tidak dapat menyusul ke Indonesia dan tetap berdomisili di negeri Belanda. Pada 1948 mereka bercerai. 2. 1951 hingga wafatnya tahun 1966 : Pernikahan dengan Siti Wahyunah S.H., putrid Prof. Dr. dr. Moh. Saleh Mangundiningrat, Solo (pernikahan dilangsungkan di Kairo, Mesir).
Putera – Puteri : Ir. Kriya Arsjah dan Siti Rabyah Parvati, S.S. dan beberapa orang anak angkat yang berasal dari Banda Neira, tempat pembuangannya di Maluku.
Meninggal di Zurich, Switzerland, 9 April 1966 dan dimakamkan di TMP Kalibata dan diberi gelar Pahlawan Nasional. Penganugrahan 1. Tanda Kehormatan Satyalencana, Peringatan Perjoangan Kemerdekaan, tanggal 20 Mei 1961. 2. Pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional, Keputusan Presiden Republik Inonesia No. 76, Tahun 1966, tanggal 9 April 1966. 3. Pengangkatan sebagai Perintis Kemerdekaan, SK. Menteri Sosial, tanggal 9 April 1976.
JABATAN-JABATAN NEGARA
16 Oktober 1945 - 28 November 1945 Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) merangkap Ketua Badan Pekerja KNIP 15 November 1945
27 Juni 1947 Memimpin 3 Kabinet Parlementer berturut-turut :
1. 15 November 1945 – 28 Februari 1946 : Perdana Menteri RI merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Parlementer yang Pertama (Kabinet RI ke-2).
2. 3 Maret 1946 – 27 juni 1946 : Perdana Menteri RI merangkap Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir ke-2. Merangkap Ketua Delegasi R.I. dalam perundingan dengan Belanda (d.b.p. Lord Inverchapel), Maret/April 1946.
3. 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 : Perdana Menteri RI merangkap Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir ke-3. Merangkap Ketua Delegasi R.I. dalam perundingan dengan Belanda (d.b.p. Lord Killearn)
Oktober 1946-25 Maret 1947 (Perjanjian Linggajati). 26 Juni 1947 : Mandatnya dikembalikan kepada Presiden. Kabinet berfungsi terus sampai terbentuknya kabinet baru (3 Juli 1947: Kabinet Amir Sjarifudin).
30 Juni 1947 - akhir Januari 1950 Penasehat Presiden RI. 22 Juli 1947 - Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) dengan tugas mewakili Republik Indonesia dalam urusan-urusan dan perundingan-perundingan dengan semua negara dan pemerintah asing ( surat pengangkatan Presiden RI tanggal 22 Juli 1947).
- Mewakili Republik Indonesia di sidang-sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 14, 19, 25 Agustus 1947 dalam perdebatan tentang sengketa Republik Indonesia – Negeri Belanda (Agresi Belanda Ke-1).
14 Mei 1948 Selaku Duta Istimewa dan Penasehat Presiden RI, diberi tugas memimpin semua perwakilan R.I. di luar negeri, serta menjalankan segala urusan baik di lapangan politik maupun ekonomi/keuangan untuk memperkuat kedudukan RI di luar negeri (Surat Kuasa Wakil Presiden RI selaku Pemimpin Pemerintah No. 2/PW/PM/48).
Sejak akhir Januari 1950 Tidak memangku suatu jabatan negara lagi. Ditahan tanpa diadili 1962
KARANGAN – KARANGAN SUTAN SJAHRIR 
1. PIKIRAN DAN PERJOANGAN, terbitan Pustaka Rakyat, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940). 
2. PERGERAKAN SEKERJA – brosur 1933. 
3. PERJOANGAN KITA – brosur Oktober 1945.
4. INDONESISCHE OVERPEINZINGEN, terbitan ”De Bezige Bij”, Amsterdam 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938). 
5. RENUNGAN INDONESIA, terbitan PT. Pustaka rakyat (Diterjemahkan dari Bahasa Belanda: ”Indonesische Overpeinzingen” oleh HB Yassin, 1951).
6. OUT OF EXILE, terbitan John Day Company, New York 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir). Dicetak ulang oleh: Greenwood Press New York, 1969, alamat, 51, Riverside Ave Westport, Conn 06880, N.Y.). 
7. RENUNGAN DAN PERJUANGAN, terbitan PT. Djambatan dan PT. Dian Rakyat (terjemahan HB Yassin dari ”Indonesische Overpeinzingen” dan Bagian II “Out of Exile”, 1990).
8. SOSIALISME DAN MARXISME, terbitan PT. Djambatan, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953). 
9. NASIONALISME DAN INTERNASIONALISME, terbitan Panitia Persiapan Yayasan Sjahrir 1968 (Pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953).
10. Karangan – karangan dalam ”Sikap”, ”Suara Sosialis” dan majalah – majalah lain.
11. SOSIALISME INDONESIA PEMBANGUNAN (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas, tahun 1983).

2.2 Peran Sutan Syahrir dalam Pemerintahan Indonesia 1945-1947
            Selain melibatkan diri dalam perkumpulan mahasiswa sosialis, Sjahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Dalam PI kegiatan politik Sjahrir segera diperhitungkan. Ketika PI dikuasai oleh orangorang berideologi komunis, ia tetap setia bersama Hatta untuk menentang hal tersebut.
Kegiatan politik Sjahrir semakin menonjol ketika ia bersama Hatta mendirikan sebuah partai baru, yakni PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia). Dalam Kongres I di Bandung pada bulan Juni 1932 Sjahrir terpilih sebagai ketua Pimpinan Umum PNIBaru (Syahbudin, 1987: 22-23). Pimpinan Sjahrir ditandai oleh pengarahan konsolidasi ke dalam untuk menumbuhkan kematangan politik dan jiwa kritis. Tidak lama setelah itu, Hatta kembali ke Hindia dan kepemimpinan PNI-Baru diserahkan kepadanya. Sjahrir bermaksud kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Namun belum sempat ia meninggalkan Hindia, para pemimpin PNI-Baru ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan-kegiatan PNI-Baru dianggap berbahaya karena melakukan propaganda melalui tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah Daulat Rakjat (Hatta, 1978: 319).
¨           Arti Penting Syahrir Pada Awal Kemerdekaan
Pemerintah Republik Indonesia awal memiliki banyak kelemahan, sehingga menimbulkan ketidakpuasan terutama bagi pemuda. Buruknya hubungan pemerintah pusat dan daerah, kedatangan Sekutu, peleburan badan-badan peperangan, pengumpulan kembali orang Jepang, penyesuaian tugas pegawai, buruknya sarana transportasi, dan kemunduran ekonomi menjadi penghalang pemerintah untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Pengambil-alihan kantor-kantor dan perusahaan di daerah-daerah tidak dapat dikontrol oleh pemerintah pusat, begitu pula dalam hal penyediaan dan pengawasan penggunaan uang. Ketidakpuasan ini menimbulkan ide untuk mengganti Kabinet Soekarno-Hatta dengan kabinet baru yang lebih tegas dan berani(Moedjanto, 1988: 141-142).
Kelemahan pemerintah pusat ke dalam tidak diimbangi dengan kekuatan ke luar. Kabinet presidensial dinilai oleh Sekutu sebagai kabinet berbau fasis, karena para menterinya pernah bekerjasama dengan Jepang (Algadri, 1991: 92). Kondisi ini membuat Sekutu sulit untuk mengakui Republik Indonesia karena dianggap sebagai negara buatan Jepang dan berada di bawah kendali Jepang.
Untuk menyelamatkan Republik dari cap negara buatan Jepang dan segera memperoleh pengakuan internasional, dicari tokoh pemimpin yang antifasis. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan desakan-desakan yang menginginkan agar Pemerintah RI lebih mencerminkan semangat kemerdekaan dan demokrasi. Di antara orang-orang Indonesia banyak yang anti Jepang. Kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang hampir-hampir menguras habis simpati bangsa Indonesia. Salah satu tokoh anti Jepang adalah Sutan Sjahrir, tokoh antifasis yang terkenal dengan jaringan bawah tanahnya pada masa pendudukan Jepang.
Sjahrir dapat menghilangkan ketidakpuasan pemuda, ia dianggap sebagai orang yang tepat untuk mengatasi masalah dalam masa revolusi. Ia mempunyai hubungan yang baik dengan politisi tua, dan dikenal sebagai nasionalis intelektual dan ex Digulis. Di kalangan pemuda, peranannya selama pendudukan Jepang sangat dihargai, dan umurnya yang baru 36 tahun lebih dekat dengan pemuda (Moedjanto, 1988: 142).
¨           Syahrir sebagai ketua KNIP
Lima hari setelah kemerdekaan Indonesia, Komite Nasional Indonesia terbentuk. Kelompok pemuda mendorong agar Sjahrir menjadi Ketua Komite, namun ia menolak dengan alasan masih menanti sejauh mana Komite mencerminkan kehendak rakyat. Pada kenyataannya lembaga-lembaga negara RI belum berfungsi dengan baik, begitu pula dengan KNI. Lembaga tersebut masih baru dan para pejuang lebih banyak menunggu instruksi daripada mempunyai inisiatif sendiri (Djoeir, 1997: 93-94).
Pada tanggal 7 Oktober 1945, 40 anggota KNIP menandatangani petisi yang berisi tuntutan agar Komite Nasional menjadi badan legislatif, bukan pembantu presiden. Selain itu, menteri kabinet harus bertanggungjawab kepada dewan, bukan kepada presiden. Selanjutnya, para pemuda mendesak agar Sjahrir bersedia menjadi ketua Komite. Pada tanggal 16 Oktober 1945, Komite Nasional mengadakan rapat dan Sjahrir diangkat sebagai ketua (Sjahrir, 1990: 280).
Naiknya Sjahrir sebagai ketua KNIP segera membawa angin segar ke dalam KNI dan Pemerintah (eksekutif) yang lebih mencerminkan aspirasi rakyat. Langkah-langkah yang diambil Sjahrir sebagai Ketua KNIP ialah sebagai berikut: Pertama, mengubah KNIP menjadi badan legislatif. Sidang KNIP pada tanggal 16 Oktober membuahkan hasil dengan disetujuinya usul Sjahrir, kemudian dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X. Isi pokok dari maklumat tersebut ialah (Soebadio, 1987: 63):
1. Sebelum MPR-DPR terbentuk, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2. Berhubung dengan keadaan yang sedang genting, banyak anggota KNIP diperlukan di daerah-daerah, maka pekerjaan sehari-hari KNIP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja (BP). Perubahan status KNIP dapat memperkokoh kedudukan RI dalam menghadapi pihak asing yang menganut paham demokrasi, karena RI dapat dicap sebagai Negara fasis buatan Jepang apabila kekuasaan Presiden terlalu besar.
Usaha kedua yang dilakukan Sjahrir ialah mendirikan partai-partai politik. Dengan perubahan status KNIP, maka RI menjadi sebuah negara yang mengikuti pola parlemen Eropa Barat. Konsekuensinya, suara rakyat harus disalurkan melalui organisasi politik. Sebagai dasar hukum digunakan Aturan Tambahan ayat 1 UUD 1945, yang menetapkan bahwa: “Dalam enam bulan sesudah akhir peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar ini.” (Moedjanto, 1988: 143). Artinya bahwa 6 bulan sesudah perang selesai di Indonesia harus diselenggarakan suatu pemilihan untuk anggota MPR-DPR. Sjahrir menjelaskan bahwa pemilihan itu akan bersifat demokratis, dan oleh karena itu keikutsertaan partai-partai politik merupakan hal yang utama.
Sjahrir berhasil memperoleh persetujuan BPKNIP untuk mengeluarkan Maklumat Pendirian Partai-partai . Maklumat ini disetujui oleh Soekarno-Hatta, dan pada tanggal 3 November 1945 Wakil Presiden Moh. Hatta mengesahkannya. Pendirian partai-partai politik dapat menunjukkan bahwa Indonesia merupakan Negara demokrasi, suatu bentuk negara yang dikehendaki oleh dunia internasional, terutama oleh Sekutu. Dengan demikian, kesan bahwa Indonesia merupakan negara fasis buatan Jepang dapat dihilangkan.
Usaha Sjahrir yang ketiga ialah menulis buku Perjuangan Kita. Buku ini merupakan sebuah diagnosa yang dirumuskan secara jernih tentang persoalan yang dihadapi Indonesia pada waktu itu dan merupakan program untuk menghadapi Belanda. Munculnya Perjuangan Kita memberi pengaruh terhadap pandangan Belanda dan Sekutu bahwa pemimpin Indonesia tidak semuanya pernah bekerjasama dengan Jepang.

¨                  Syahrir Sebagai Perdanan Menteri

Pada tanggal 14 November dikeluarkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945, yang berisi disetujuinya perubahan sistem kabinet dari presidensial menjadi parlementer. Sjahrir ditunjuk sebagai formatur kabinet, dan segera membentuk Kabinet Sjahrir I (Ibid, 1987: 98). Ia dianggap sebagai orang yang tepat untuk menjadi pemimpin karena dianggap mampu menghadapi diplomasi dengan negara Barat. Kabinet Sjahrir I sebagian besar anggotanya terdiri atas tenaga pemerintahan dan tenaga ahli, bukan politisi dan merupakan orang-orang yang tidak bekerjasama dengan Jepang.

Usaha-usaha Sjahrir sebagai Perdana Menteri ialah: pertama, mengadakan
konsolidasi dengan pimpinan negara yakni Soekarno-Hatta. Selain itu, dalam
menghadapi pergolakan di daerah-daerah ia bekerjasama dengan KNI-Daerah agar pergolakan-pergolakan itu dapat dikendalikan. Sjahrir juga menetapkan program kerja kabinet ke dalam, yang terdiri atas empat pasal (Departemen Penerangan, 1970: 4):
a) Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasarkan kedaulatan rakyat.
b) Mencapai koordinasi semua tenaga rakyat dalam usaha menegakkan Negara
Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan.
c) Berusaha memperbaiki kemakmuran rakyat.
d) Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.

Kedua, Sjahrir menjalankan politik diplomasi untuk menghadapi Sekutu dan Belanda. Perundingan pertama diadakan pada tanggal 17 November 1945, dan menghasilkan usulan-usulan dari pihak Belanda yang intinya berisi mengenai
keamanan di Indonesia. Akan tetapi akhirnya perundingan ini tidak menghasilkan apa-apa, Syahrir tidak sempat memberi jawaban atas usul-usul Belanda karena kabinetnya sedang sibuk mengadakan rapat bersama KNIP. Selain itu timbul kejengkelan dan keprihatinan di pihak Indonesia akibat insiden penembakan Mr. M. Roem oleh serdadu Belanda pada tanggal 21 November 1945 (Agung, 1995: 40-41). Perundingan selanjutnya diadakan pada tanggal 10 Februari 1946, yang
menghasilkan pernyataan politik pemerintah Belanda, bahwa Indonesia akan dijadikan sebagai negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda (Raliby, 1953: 232). Perundingan ini juga tidak menghasilkan apa-apa, karena sebelum sempat menjawab pernyataan Belanda, Kabinet Sjahrir jatuh akibat pertentangan oleh pihak oposisi di dalam negeri.
Syahrir sebagai Perdana Menteri untuk yang Kedua kalinya. Sjahrir ditunjuk kembali untuk membentuk kabinet baru setelah pihak oposisi, yaitu Persatuan Perjuangan, tidak mampu membentuk kabinet baru. KNIP yang masih berada dalam masa sidang segera menyetujui tindakan ini, dan akhirnya Kabinet Sjahrir II dilantik pada tanggal 12 Maret 1946 (Departemen Penerangan, 1970: 5).
Dalam kabinetnya yang kedua, Sjahrir tetap melanjutkan perundingan sebagai usaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Setelah kabinet baru terbentuk, Sjahrir menyusun usul balasan kepada van Mook, meminta Belanda untuk mengakui kedaulatan penuh Republik Indonesia dengan wilayah bekas Hindia Belanda dan tidak berbentuk sebagai negara persemakmuran seperti yang diusulkan sebelumnya. Pihak Belanda menolak menerima usul tersebut, van Mook mengusulkan pembentukan negara Indonesia yang berbentuk federasi dalam suatu Uni dengan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sjahrir memberikan jawaban dengan isi pokok supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatera, selain itu ia juga menyetujui pembentukan RIS yang berada dalam ikatan Kerajaan Belanda.
Usul balasan tersebut, mampu memberi pendekatan antara Indonesia dan Belanda. Selanjutnya Sjahrir menyusun rancangan perundingan yang lebih tinggi tingkatannya. Pada tanggal 14 sampai 24 April 1946 diadakan Perundingan Hoge Veluwe di Negeri Belanda (Basuki, 1999: 217). Perundingan ini mengalami kegagalan, karena pihak Belanda menolak hasil perundingan Sjahrir dan van Mook sebelumnya. Pihak Belanda hanya bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Madura saja, dan itupun dikurangi oleh daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Sekutu. Sementara itu RI harus menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Meskipun demikian, perundingan ini merupakan tahapan dalam peletakan dasar untuk perundingan selanjutnya.
Pada tanggal 2 Mei 1946 van Mook kembali membawa usul pemerintahannya. Usulan tersebut berisi pengakuan Belanda terhadap Republik Indonesia yang berbentuk Serikat, serta merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Selain itu, Pemerintah Belanda mengakui de facto kekuasaan RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera, dikurangi dengan daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Inggris dan Belanda (Notosusanto, 1993: 127). Usul Belanda tidak diterima oleh Sjahrir, karena tidak mengandung sesuatu yang baru.
Di dalam negeri, posisi Sjahrir semakin sulit akibat serangan pihak oposisi yang semakin kuat. Puncak tindakan oposisi ialah penculikan terhadap Sjahrir beserta rombongannya pada 28 Juni 1946 di Solo (Loebis, 1992: 161). Presiden Soekarno menyatakan keadaan darurat dan mengambil alih pemerintahan, serta mendesak pihak oposisi agar segera membebaskan Sjahrir beserta pejabat lainnya. Dengan pengambilalihan pemerintahan oleh Presiden Soekarno tersebut, maka berakhirlah Kabinet Sjahrir II (Kahin, 1995: 238).
Syahrir sebagai Perdana Menteri untuk yang Ketiga kalinya. Setelah masalah penculikan selesai, Presiden Soekarno kembali menunjuk Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan untuk segera membentuk kabinet baru. Sesudah kabinetnya dilantik, Sjahrir melanjutkan kembali perundingan dengan pihak Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 diadakan perundingan atas dasar program politik pemerintah yang menekankan pada perundingan atas dasar pengakuan merdeka 100%, dan persiapan rakyat serta negara dalam bidang politik, militer, ekonomi, dan sosial untuk mempertahankan RI. Perundingan ini menghasilkan usul-usul dari pihak Belanda yang tidak dapat diterima oleh Sjahrir. Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian dari Kerajaan Belanda.
Perundingan selanjutnya diadakan di Linggarjati, pada tanggal 15 November 1946; delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dengan 17 pasal ketentuan. Isi yang paling penting ialah diakuinya Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera, serta pembentukan Negara Indonesia Serikat. Setelah Belanda memberikan pengakuan kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera, negara-negara lain kemudian mengikutinya, seperti Inggris, AS, Mesir, Libanon, Suria, Afganistan, Burma, Saudi Arabia, Yaman, Rusia, serta India dan Pakistan (Tobing, 1986: 2-10).
Banyak pihak menganggap Sjahrir terlalu banyak memberi konsesi pada Belanda dan banyak ketidakjelasan dalam Persetujuan yang dapat menimbulkan perbedaan tafsiran. Sjahrir mengalami kesulitan berhubungan dengan pihak Belanda, sehingga banyak yang menarik dukungan terhadapnya, termasuk partainya sendiri, yaitu Partai Sosialis. Akibat banyaknya penentangan kebijakan Sjahrir, maka ia kemudian mengundurkan diri pada tanggal 27 Juni 1947 (Kahin, 1995: 261-262).
Apabila dilihat lebih lanjut, Persetujuan Linggarjati memiliki kelebihan, Syahrir mencantumkan pasal mengenai arbitrase yang memungkinkan untuk meningkatkan masalah Indonesia menjadi masalah internasional apabila terjadi pelanggaran. Hal ini terbukti ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama, karena adanya pasal mengenai arbitrase maka masalah Indonesia dapat diajukan ke badan internasional (PBB). Pada 4 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi Australia untuk penyelesai pertikaian Indonesia-Belanda (Deplu, 2004: 582). Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB (Salam,1990: 52-53). Dalam sidang ini Sjahrir diberi kesempatan berpidato dan momen ini membuat Indonesia mulai dikenal oleh dunia internasional. Sejak saat itu pertikaian Indonesia-Belanda tidak pernah luput dari perhatian PBB.

¨                  Tantangan-tantangan yang dihadapi Syahrir

Oposisi Persatuan Perjuangan
Selama menjabat sebagai perdana menteri, Sjahrir mendapat tantangan-tantangan dari dalam negeri. Tantangan pertama berasal dari pihak oposisi yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin oleh Tan Malaka. Organisasi ini merupakan gabungan dari berbagai organisasi masyarakat, badan-badan perjuangan, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang menentang kebijakan Sjahrir dan kabinetnya, terutama dalam hal diplomasi. Persatuan Perjuangan menginginkan Indonesia merdeka 100%, dan lebih mengutamakan perlawanan fisik terhadap Belanda dan sekutu.

Pertentangan dengan militer
Pernyataan Syahrir mengenai kolaborator Jepang yang ditulisnya dalam buku Perjuangan Kita merupakan awal pertentangan Sudirman terhadap Sjahrir. Sudirman tersinggung karena pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpinnya merupakan bentukan Jepang (Malik, 1978: 155). Jenderal Sudirman kemudian bergabung bersama oposisi Persatuan Perjuangan dan menyatakan pertentangannya terhadap kebijakan Sjahrir. Garis politik Persatuan Perjuangan yang keras lebih menarik perhatiannya daripada diplomasi yang diperjuangkan oleh Sjahrir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sjahrir dalam "Perdjoeangan Kita"

Perjuangan Kita  atau  Perdjoeangan Kita  ( bahasa Belanda :  Onze Strijd ) adalah sebuah pamflet yang ditulis akhir Oktober 1945 oleh pemi...