Sutan Syahrir berasal dari keluarga Minangkabau yang cukup terpandang dan disegani di Koto Gedang, Sumatera Barat. Kakek dan ayahnya merupakan jaksa yang bekerja bagi pemerintah Hindia Belanda. Dalam tubuh Sutan Sjahrir juga mengalir darah bangsawan Mandailing Natal, Ibunya merupakan keturunan langsung dari Tuanku Besar Sintan dari Natal (Mrazek, 1996: 4-5). Jadi sejak kecil Sjahrir telah menikmati kemapanan ekonomi dan kehidupan keluarga yang modern.
Perawakan
Syahrir pendek: 1,60 meter lebih sedikit. Suka tertawa lepas, sorotan mata
ramah dan bersahabat. Syahrir Lahir di Padang Panjang, Sumatera barat, 5 Maret
1909. Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Sutan bin Soetan Leman
gelar Soetan Palindih, asal Kota Gadang, dengan jabatan terakhir: Kepala Jaksa
pada/Landraad (Pengadilan Negeri) di Medan (Anwar, 2011: 9).
Ibunya
bernama Poetri Siti Rabiah, putri Soetan Soeleiman (Kota Gadang) dan Puti
Djohor Maligan (cucu Tuanku Besar si Intan dari Natal, Sumatra Utara) dari
daerah pantai bagian selatan Tapanuli, dari keluarga raja-raja local Swapraja (sutansjahrir.com).
Syahrir
mengenyam sekolah dasar (ELS)
dan sekolah menengah (MULO)
terbaik di Medan,
dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour
Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Pada 1926,
ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal diHindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia
bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai
sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk
membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya
Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang.
Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku
pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir
juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi
anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja
Volksuniversiteit(id.wikipedia.org).
Pendidikan
Barat yang diperoleh Sjahrir tidak hanya diperoleh di Hindia, setamat AMS ia melanjutkan studi ke Fakultas Hukum,
Universitas Amsterdam. Di negeri Belanda,
Sjahrir menjalani kehidupan yang berbeda dengan di Hindia. Kehidupan di negeri Belanda memperkenalkan Sjahrir pada
kehidupan yang bebas. Ia tertarik pada sosialisme,
terlibat dalam Perkumpulan Mahasiswa Sosial Demokrat Amsterdam, dan banyak membaca buku-buku mengenai sosialisme.
Selain itu, ia juga melibatkan diri dalam
gerakan Sarekat Buruh dan bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transport Internasional (Mrazek, 1996: 92).
Ia
berkembang dalam iklim Barat dengan pola pikir Barat dan hampir-hampir tidak
ada lagi kesan bahwa sebenarnya orang Indonesia dengan pola pikir yang
dimilikiya dan berkembang sangat baik. Menurut teman-temannya di Belanda, Sutan
Sjahrir menyelami sosialisme sangat dalam hingga bergaul sangat bebas dengan
kelompok sosialis. Ia sangat memahami teori-teori sosialisme berkat pergaulan
dalamnya dengan kelompok sosialis Belanda(sosok.kompasiana.com).
Berikut
adalah data-data biografi Sutan Syahrir yang dikutip dari sutansjahrir.com,
yaitu Pernikahan : 1. 1939 – 1948 : Pernikahan dengan Ny. Maria Duchateau
(dilangsungkan dengan surat
kuasa, serentak di Negeri Belanda, tempat domisili Ny. Maria Duchateau) dan di
Pulau Banda Neira, (tempat St. Sjahrir
diasingkan oleh Belanda). Karena pecah perang dunia ke-2, istrinya tidak dapat
menyusul ke Indonesia
dan tetap berdomisili di negeri Belanda. Pada 1948 mereka bercerai. 2. 1951
hingga wafatnya tahun 1966 : Pernikahan dengan Siti Wahyunah S.H., putrid Prof.
Dr. dr. Moh. Saleh Mangundiningrat, Solo (pernikahan dilangsungkan di Kairo,
Mesir).
Putera –
Puteri : Ir. Kriya Arsjah dan Siti Rabyah Parvati, S.S. dan beberapa orang anak
angkat yang berasal dari Banda Neira, tempat pembuangannya di Maluku.
Meninggal di Zurich, Switzerland, 9 April 1966 dan dimakamkan di TMP Kalibata dan diberi gelar
Pahlawan Nasional. Penganugrahan 1. Tanda Kehormatan Satyalencana, Peringatan
Perjoangan Kemerdekaan, tanggal 20 Mei 1961. 2. Pengangkatan sebagai Pahlawan
Nasional, Keputusan Presiden Republik Inonesia No. 76, Tahun 1966, tanggal 9
April 1966. 3. Pengangkatan sebagai Perintis Kemerdekaan, SK. Menteri Sosial,
tanggal 9 April 1976.
JABATAN-JABATAN NEGARA
16
Oktober 1945 - 28 November 1945 Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)
merangkap Ketua Badan Pekerja KNIP 15 November 1945
27 Juni
1947 Memimpin 3 Kabinet Parlementer berturut-turut :
1. 15 November 1945 – 28 Februari 1946 : Perdana Menteri RI merangkap
Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Parlementer yang
Pertama (Kabinet RI ke-2).
2. 3 Maret 1946 – 27 juni 1946 : Perdana Menteri RI
merangkap Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir ke-2. Merangkap Ketua
Delegasi R.I. dalam perundingan dengan Belanda (d.b.p. Lord Inverchapel),
Maret/April 1946.
3. 2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947 : Perdana Menteri RI
merangkap Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir ke-3. Merangkap Ketua
Delegasi R.I. dalam perundingan dengan Belanda (d.b.p. Lord Killearn)
Oktober
1946-25 Maret 1947 (Perjanjian Linggajati). 26 Juni 1947 : Mandatnya
dikembalikan kepada Presiden. Kabinet berfungsi terus sampai terbentuknya
kabinet baru (3 Juli 1947: Kabinet Amir Sjarifudin).
30 Juni
1947 - akhir Januari 1950 Penasehat Presiden
RI. 22 Juli 1947 - Duta Besar
Keliling (Ambassador-at-Large) dengan tugas mewakili Republik Indonesia dalam urusan-urusan dan
perundingan-perundingan dengan semua negara dan pemerintah asing ( surat pengangkatan Presiden
RI tanggal 22 Juli 1947).
-
Mewakili Republik Indonesia
di sidang-sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 14, 19, 25 Agustus 1947 dalam
perdebatan tentang sengketa Republik Indonesia – Negeri
Belanda (Agresi Belanda Ke-1).
14 Mei
1948 Selaku Duta Istimewa dan Penasehat Presiden RI, diberi tugas memimpin
semua perwakilan R.I. di luar negeri, serta menjalankan segala urusan baik di
lapangan politik maupun ekonomi/keuangan untuk memperkuat kedudukan RI di luar
negeri (Surat Kuasa Wakil Presiden RI
selaku Pemimpin Pemerintah No. 2/PW/PM/48).
Sejak
akhir Januari 1950 Tidak memangku suatu jabatan negara lagi. Ditahan tanpa
diadili 1962
KARANGAN
– KARANGAN SUTAN SJAHRIR
1. PIKIRAN DAN PERJOANGAN, terbitan Pustaka Rakyat, tahun 1950
(kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun
1931 – 1940).
2. PERGERAKAN SEKERJA – brosur 1933.
3. PERJOANGAN KITA – brosur Oktober 1945.
4. INDONESISCHE OVERPEINZINGEN, terbitan ”De Bezige Bij”, Amsterdam 1946 (kumpulan
surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan
di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
5. RENUNGAN INDONESIA, terbitan PT. Pustaka rakyat (Diterjemahkan
dari Bahasa Belanda: ”Indonesische Overpeinzingen” oleh HB Yassin, 1951).
6. OUT OF EXILE, terbitan John Day Company, New York 1949 (terjemahan dari ”Indonesische
Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan
Sutan Sjahrir). Dicetak ulang oleh: Greenwood Press New
York, 1969, alamat, 51, Riverside Ave Westport, Conn 06880, N.Y.).
7. RENUNGAN DAN PERJUANGAN, terbitan PT. Djambatan dan PT. Dian
Rakyat (terjemahan HB Yassin dari ”Indonesische Overpeinzingen” dan Bagian II
“Out of Exile”, 1990).
8. SOSIALISME DAN MARXISME, terbitan PT. Djambatan, tahun 1967
(kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953).
9. NASIONALISME DAN INTERNASIONALISME, terbitan Panitia Persiapan
Yayasan Sjahrir 1968 (Pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di
Rangoon, tahun 1953).
10. Karangan – karangan dalam ”Sikap”, ”Suara Sosialis” dan majalah
– majalah lain.
11. SOSIALISME INDONESIA PEMBANGUNAN (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir
diterbitkan oleh Leppenas, tahun 1983).
2.2 Peran Sutan
Syahrir dalam Pemerintahan Indonesia 1945-1947
Selain
melibatkan diri dalam perkumpulan mahasiswa sosialis, Sjahrir juga aktif dalam
Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Dalam
PI kegiatan politik Sjahrir segera diperhitungkan. Ketika PI dikuasai oleh
orangorang berideologi komunis, ia tetap setia bersama Hatta untuk menentang
hal tersebut.
Kegiatan
politik Sjahrir semakin menonjol ketika ia bersama Hatta mendirikan sebuah
partai baru, yakni PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia). Dalam Kongres I di
Bandung pada bulan Juni 1932 Sjahrir terpilih sebagai ketua Pimpinan Umum
PNIBaru (Syahbudin, 1987: 22-23). Pimpinan Sjahrir ditandai oleh pengarahan
konsolidasi ke dalam untuk menumbuhkan kematangan politik dan jiwa kritis.
Tidak lama setelah itu, Hatta kembali ke Hindia dan kepemimpinan PNI-Baru
diserahkan kepadanya. Sjahrir bermaksud kembali ke Belanda untuk melanjutkan
studinya. Namun belum sempat ia meninggalkan Hindia, para pemimpin PNI-Baru
ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan-kegiatan PNI-Baru dianggap
berbahaya karena melakukan propaganda melalui tulisan-tulisan yang dimuat dalam
majalah Daulat Rakjat (Hatta, 1978: 319).
¨
Arti Penting Syahrir Pada Awal Kemerdekaan
Pemerintah
Republik Indonesia
awal memiliki banyak kelemahan, sehingga menimbulkan ketidakpuasan terutama
bagi pemuda. Buruknya hubungan pemerintah pusat dan daerah, kedatangan Sekutu,
peleburan badan-badan peperangan, pengumpulan kembali orang Jepang, penyesuaian
tugas pegawai, buruknya sarana transportasi, dan kemunduran ekonomi menjadi
penghalang pemerintah untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Pengambil-alihan
kantor-kantor dan perusahaan di daerah-daerah tidak dapat dikontrol oleh
pemerintah pusat, begitu pula dalam hal penyediaan dan pengawasan penggunaan
uang. Ketidakpuasan ini menimbulkan ide untuk mengganti Kabinet Soekarno-Hatta
dengan kabinet baru yang lebih tegas dan berani(Moedjanto, 1988: 141-142).
Kelemahan
pemerintah pusat ke dalam tidak diimbangi dengan kekuatan ke luar. Kabinet
presidensial dinilai oleh Sekutu sebagai kabinet berbau fasis, karena para
menterinya pernah bekerjasama dengan Jepang (Algadri, 1991: 92). Kondisi ini
membuat Sekutu sulit untuk mengakui Republik Indonesia karena dianggap sebagai
negara buatan Jepang dan berada di bawah kendali Jepang.
Untuk
menyelamatkan Republik dari cap negara buatan Jepang dan segera memperoleh
pengakuan internasional, dicari tokoh pemimpin yang antifasis. Hal ini
dilakukan untuk mewujudkan desakan-desakan yang menginginkan agar Pemerintah RI
lebih mencerminkan semangat kemerdekaan dan demokrasi. Di antara orang-orang Indonesia
banyak yang anti Jepang. Kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh tentara
Jepang hampir-hampir menguras habis simpati bangsa Indonesia. Salah satu tokoh anti
Jepang adalah Sutan Sjahrir, tokoh antifasis yang terkenal dengan jaringan
bawah tanahnya pada masa pendudukan Jepang.
Sjahrir
dapat menghilangkan ketidakpuasan pemuda, ia dianggap sebagai orang yang tepat
untuk mengatasi masalah dalam masa revolusi. Ia mempunyai hubungan yang baik
dengan politisi tua, dan dikenal sebagai nasionalis intelektual dan ex Digulis.
Di kalangan pemuda, peranannya selama pendudukan Jepang sangat dihargai, dan
umurnya yang baru 36 tahun lebih dekat dengan pemuda (Moedjanto, 1988: 142).
¨
Syahrir sebagai ketua KNIP
Lima hari setelah kemerdekaan Indonesia,
Komite Nasional Indonesia terbentuk. Kelompok pemuda mendorong agar Sjahrir
menjadi Ketua Komite, namun ia menolak dengan alasan masih menanti sejauh mana
Komite mencerminkan kehendak rakyat. Pada kenyataannya lembaga-lembaga negara
RI belum berfungsi dengan baik, begitu pula dengan KNI. Lembaga tersebut masih
baru dan para pejuang lebih banyak menunggu instruksi daripada mempunyai
inisiatif sendiri (Djoeir, 1997: 93-94).
Pada
tanggal 7 Oktober 1945, 40 anggota KNIP menandatangani petisi yang berisi
tuntutan agar Komite Nasional menjadi badan legislatif, bukan pembantu
presiden. Selain itu, menteri kabinet harus bertanggungjawab kepada dewan,
bukan kepada presiden. Selanjutnya, para pemuda mendesak agar Sjahrir bersedia
menjadi ketua Komite. Pada tanggal 16 Oktober 1945, Komite Nasional mengadakan
rapat dan Sjahrir diangkat sebagai ketua (Sjahrir, 1990: 280).
Naiknya
Sjahrir sebagai ketua KNIP segera membawa angin segar ke dalam KNI dan
Pemerintah (eksekutif) yang lebih mencerminkan aspirasi rakyat. Langkah-langkah
yang diambil Sjahrir sebagai Ketua KNIP ialah sebagai berikut: Pertama,
mengubah KNIP menjadi badan legislatif. Sidang KNIP pada tanggal 16 Oktober
membuahkan hasil dengan disetujuinya usul Sjahrir, kemudian dikeluarkan
Maklumat Wakil Presiden No. X. Isi pokok dari maklumat tersebut ialah
(Soebadio, 1987: 63):
1.
Sebelum MPR-DPR terbentuk, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2.
Berhubung dengan keadaan yang sedang genting, banyak anggota KNIP diperlukan di
daerah-daerah, maka pekerjaan sehari-hari KNIP dijalankan oleh sebuah Badan
Pekerja (BP). Perubahan status KNIP dapat memperkokoh kedudukan RI dalam
menghadapi pihak asing yang menganut paham demokrasi, karena RI dapat dicap
sebagai Negara fasis buatan Jepang apabila kekuasaan Presiden terlalu besar.
Usaha
kedua yang dilakukan Sjahrir ialah mendirikan partai-partai politik. Dengan
perubahan status KNIP, maka RI menjadi sebuah negara yang mengikuti pola
parlemen Eropa Barat. Konsekuensinya, suara rakyat harus disalurkan melalui
organisasi politik. Sebagai dasar hukum digunakan Aturan Tambahan ayat 1 UUD
1945, yang menetapkan bahwa: “Dalam enam bulan sesudah akhir peperangan Asia
Timur Raya, Presiden Indonesia
mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-undang
Dasar ini.” (Moedjanto, 1988: 143). Artinya bahwa 6 bulan sesudah perang
selesai di Indonesia harus diselenggarakan suatu pemilihan untuk anggota
MPR-DPR. Sjahrir menjelaskan bahwa pemilihan itu akan bersifat demokratis, dan
oleh karena itu keikutsertaan partai-partai politik merupakan hal yang utama.
Sjahrir
berhasil memperoleh persetujuan BPKNIP untuk mengeluarkan Maklumat Pendirian Partai-partai . Maklumat ini
disetujui oleh Soekarno-Hatta, dan pada tanggal 3 November 1945 Wakil Presiden
Moh. Hatta mengesahkannya. Pendirian partai-partai politik dapat menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan Negara demokrasi, suatu bentuk negara yang
dikehendaki oleh dunia internasional, terutama oleh Sekutu. Dengan demikian,
kesan bahwa Indonesia merupakan negara fasis buatan Jepang dapat dihilangkan.
Usaha
Sjahrir yang ketiga ialah menulis buku Perjuangan Kita. Buku ini merupakan
sebuah diagnosa yang dirumuskan secara jernih tentang persoalan yang dihadapi
Indonesia pada waktu itu dan merupakan program untuk menghadapi Belanda.
Munculnya Perjuangan Kita memberi pengaruh terhadap pandangan Belanda dan
Sekutu bahwa pemimpin Indonesia tidak semuanya pernah bekerjasama dengan
Jepang.
¨
Syahrir Sebagai Perdanan Menteri
Pada tanggal 14 November dikeluarkan Maklumat
Pemerintah 14 November 1945, yang berisi disetujuinya perubahan sistem kabinet
dari presidensial menjadi parlementer. Sjahrir ditunjuk sebagai formatur
kabinet, dan segera membentuk Kabinet Sjahrir I (Ibid, 1987: 98). Ia dianggap
sebagai orang yang tepat untuk menjadi pemimpin karena dianggap mampu
menghadapi diplomasi dengan negara Barat. Kabinet Sjahrir I sebagian besar
anggotanya terdiri atas tenaga pemerintahan dan tenaga ahli, bukan politisi dan
merupakan orang-orang yang tidak bekerjasama dengan Jepang.
Usaha-usaha Sjahrir sebagai Perdana Menteri ialah:
pertama, mengadakan
konsolidasi dengan pimpinan negara yakni Soekarno-Hatta. Selain itu, dalam
menghadapi pergolakan di daerah-daerah ia bekerjasama dengan KNI-Daerah
agar pergolakan-pergolakan itu dapat dikendalikan. Sjahrir juga menetapkan
program kerja kabinet ke dalam, yang terdiri atas empat pasal (Departemen
Penerangan, 1970: 4):
a) Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasarkan kedaulatan rakyat.
b) Mencapai koordinasi semua tenaga rakyat dalam usaha menegakkan Negara
Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan
dan perikemanusiaan.
c) Berusaha memperbaiki kemakmuran rakyat.
d) Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.
Kedua, Sjahrir menjalankan politik diplomasi untuk
menghadapi Sekutu dan Belanda. Perundingan pertama diadakan pada tanggal 17
November 1945, dan menghasilkan usulan-usulan dari pihak Belanda yang intinya
berisi mengenai
keamanan di Indonesia. Akan tetapi akhirnya perundingan ini tidak
menghasilkan apa-apa, Syahrir tidak sempat memberi jawaban atas usul-usul
Belanda karena kabinetnya sedang sibuk mengadakan rapat bersama KNIP. Selain
itu timbul kejengkelan dan keprihatinan di pihak Indonesia akibat insiden
penembakan Mr. M. Roem oleh serdadu Belanda pada tanggal 21 November 1945
(Agung, 1995: 40-41). Perundingan selanjutnya diadakan pada tanggal 10 Februari
1946, yang
menghasilkan pernyataan politik pemerintah Belanda, bahwa Indonesia akan
dijadikan sebagai negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda (Raliby, 1953:
232). Perundingan ini juga tidak menghasilkan apa-apa, karena sebelum sempat
menjawab pernyataan Belanda, Kabinet Sjahrir jatuh akibat pertentangan oleh
pihak oposisi di dalam negeri.
Syahrir sebagai Perdana Menteri untuk yang Kedua
kalinya. Sjahrir ditunjuk kembali untuk membentuk kabinet baru setelah pihak
oposisi, yaitu Persatuan Perjuangan, tidak mampu membentuk kabinet baru. KNIP
yang masih berada dalam masa sidang segera menyetujui tindakan ini, dan akhirnya
Kabinet Sjahrir II dilantik pada tanggal 12 Maret 1946 (Departemen Penerangan, 1970:
5).
Dalam kabinetnya yang kedua, Sjahrir tetap
melanjutkan perundingan sebagai usaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Setelah kabinet baru terbentuk, Sjahrir menyusun usul balasan kepada van Mook,
meminta Belanda untuk mengakui kedaulatan penuh Republik Indonesia dengan
wilayah bekas Hindia Belanda dan tidak berbentuk sebagai negara persemakmuran
seperti yang diusulkan sebelumnya. Pihak Belanda menolak menerima usul
tersebut, van Mook mengusulkan pembentukan negara Indonesia yang berbentuk
federasi dalam suatu Uni dengan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sjahrir
memberikan jawaban dengan isi pokok supaya pemerintah Belanda mengakui
kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatera, selain itu ia juga menyetujui
pembentukan RIS yang berada dalam ikatan Kerajaan Belanda.
Usul balasan tersebut, mampu memberi pendekatan
antara Indonesia dan Belanda. Selanjutnya Sjahrir menyusun rancangan
perundingan yang lebih tinggi tingkatannya. Pada tanggal 14 sampai 24 April
1946 diadakan Perundingan Hoge Veluwe di Negeri Belanda (Basuki, 1999: 217).
Perundingan ini mengalami kegagalan, karena pihak Belanda menolak hasil
perundingan Sjahrir dan van Mook sebelumnya. Pihak Belanda hanya bersedia
memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Madura saja, dan
itupun dikurangi oleh daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Sekutu.
Sementara itu RI harus menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Meskipun demikian,
perundingan ini merupakan tahapan dalam peletakan dasar untuk perundingan
selanjutnya.
Pada tanggal 2 Mei 1946 van Mook kembali membawa
usul pemerintahannya. Usulan tersebut berisi pengakuan Belanda terhadap Republik
Indonesia yang berbentuk Serikat, serta merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Selain itu, Pemerintah Belanda mengakui de facto kekuasaan RI atas Jawa,
Madura, dan Sumatera, dikurangi dengan daerah-daerah yang diduduki oleh tentara
Inggris dan Belanda (Notosusanto, 1993: 127). Usul Belanda tidak diterima oleh
Sjahrir, karena tidak mengandung sesuatu yang baru.
Di dalam negeri, posisi Sjahrir semakin sulit
akibat serangan pihak oposisi yang semakin kuat. Puncak tindakan oposisi ialah
penculikan terhadap Sjahrir beserta rombongannya pada 28 Juni 1946 di Solo
(Loebis, 1992: 161). Presiden Soekarno menyatakan keadaan darurat dan mengambil
alih pemerintahan, serta mendesak pihak oposisi agar segera membebaskan Sjahrir
beserta pejabat lainnya. Dengan pengambilalihan pemerintahan oleh Presiden
Soekarno tersebut, maka berakhirlah Kabinet Sjahrir II (Kahin, 1995: 238).
Syahrir sebagai Perdana Menteri untuk yang Ketiga
kalinya. Setelah masalah penculikan selesai, Presiden Soekarno kembali menunjuk
Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan untuk segera membentuk kabinet baru.
Sesudah kabinetnya dilantik, Sjahrir melanjutkan kembali perundingan dengan
pihak Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 diadakan perundingan atas dasar
program politik pemerintah yang menekankan pada perundingan atas dasar
pengakuan merdeka 100%, dan persiapan rakyat serta negara dalam bidang politik,
militer, ekonomi, dan sosial untuk mempertahankan RI. Perundingan ini
menghasilkan usul-usul dari pihak Belanda yang tidak dapat diterima oleh
Sjahrir. Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian dari
Kerajaan Belanda.
Perundingan selanjutnya diadakan di Linggarjati,
pada tanggal 15 November 1946; delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir
dan delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan ini
menghasilkan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dengan 17 pasal
ketentuan. Isi yang paling penting ialah diakuinya Indonesia secara de facto
atas Jawa, Madura dan Sumatera, serta pembentukan Negara Indonesia Serikat.
Setelah Belanda memberikan pengakuan kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura,
dan Sumatera, negara-negara lain kemudian mengikutinya, seperti Inggris, AS,
Mesir, Libanon, Suria, Afganistan, Burma, Saudi Arabia, Yaman, Rusia, serta
India dan Pakistan (Tobing, 1986: 2-10).
Banyak pihak menganggap Sjahrir terlalu banyak
memberi konsesi pada Belanda dan banyak ketidakjelasan dalam Persetujuan yang
dapat menimbulkan perbedaan tafsiran. Sjahrir mengalami kesulitan berhubungan
dengan pihak Belanda, sehingga banyak yang menarik dukungan terhadapnya,
termasuk partainya sendiri, yaitu Partai Sosialis. Akibat banyaknya penentangan
kebijakan Sjahrir, maka ia kemudian mengundurkan diri pada tanggal 27 Juni 1947
(Kahin, 1995: 261-262).
Apabila dilihat lebih lanjut, Persetujuan Linggarjati
memiliki kelebihan, Syahrir mencantumkan pasal mengenai arbitrase yang
memungkinkan untuk meningkatkan masalah Indonesia menjadi masalah internasional
apabila terjadi pelanggaran. Hal ini terbukti ketika Belanda melancarkan agresi
militernya yang pertama, karena adanya pasal mengenai arbitrase maka masalah
Indonesia dapat diajukan ke badan internasional (PBB). Pada 4 Agustus 1947,
Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi Australia untuk penyelesai pertikaian
Indonesia-Belanda (Deplu, 2004: 582). Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir memimpin
delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB (Salam,1990: 52-53). Dalam
sidang ini Sjahrir diberi kesempatan berpidato dan momen ini membuat Indonesia
mulai dikenal oleh dunia internasional. Sejak saat itu pertikaian
Indonesia-Belanda tidak pernah luput dari perhatian PBB.
¨
Tantangan-tantangan yang dihadapi Syahrir
Selama menjabat sebagai perdana menteri, Sjahrir
mendapat tantangan-tantangan dari dalam negeri. Tantangan pertama berasal dari
pihak oposisi yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin oleh
Tan Malaka. Organisasi ini merupakan gabungan dari berbagai organisasi
masyarakat, badan-badan perjuangan, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang
menentang kebijakan Sjahrir dan kabinetnya, terutama dalam hal diplomasi.
Persatuan Perjuangan menginginkan Indonesia merdeka 100%, dan lebih
mengutamakan perlawanan fisik terhadap Belanda dan sekutu.
Pertentangan dengan militer
Pernyataan Syahrir mengenai kolaborator Jepang yang
ditulisnya dalam buku Perjuangan Kita merupakan awal pertentangan Sudirman
terhadap Sjahrir. Sudirman tersinggung karena pasukan Pembela Tanah Air (PETA)
yang dipimpinnya merupakan bentukan Jepang (Malik, 1978: 155). Jenderal
Sudirman kemudian bergabung bersama oposisi Persatuan Perjuangan dan menyatakan
pertentangannya terhadap kebijakan Sjahrir. Garis politik Persatuan Perjuangan
yang keras lebih menarik perhatiannya daripada diplomasi yang diperjuangkan
oleh Sjahrir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar