Desentralisasi pendidikan didefinisikan oleh Hamzah
(2008) sebagai upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di
bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejabat Pusat kepada
unit atau pejabat di bawahnya, atau dari pemerintah Pusat kepada pemerintah
daerah, atau dari pemerintah kepada masyarakat. Salah satu wujud dari
desentralisasi ialah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Disini mengindikasikan bahwa penyerahan kewenangan dalam
penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang
ada di bawahnya sebagai pemahaman dari desentralisasi pendidikan. Bahwa melalui
desentralisasi yang dalam pelaksanaannya disebutkan sebagai otonomi daerah
adalah upaya melalui mana masyarakat memegang peranan dalam penyelenggaraan
pendidikan di daerah.
Konsep desentralisasi banyak dikemukakan oleh para
ahli dalam berbagai kajian ilmu politik maupun ilmu pemerintahan. Setiap ahli
memberikan pemahaman yang berbeda baik dari aspek kewenangan, administrasi
maupun hal lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Disentralisasi merupakan
penyerahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan, atau administratif dari
pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi lapangannya, unit administratif
lokal, semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintah daerah, atau lembaga
swadaya masyarakat (Rondinelli, 1983:18).
Dalam penjelasan yang lebih jauh, menjelaskan bentuk desentralisasi dapat
dibedakan terutama oleh sejauhmana wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan
mengelola diserahkan dari pemerintah pusat kepada organisasi lain dan berbagai
daerah otonomi “organisasi terdesentralisasi” yang dilaksanakan dalam
menjalankan tugas mereka. Dengan demikian substansi dari desentralisasi
berdasarkan pengertian di atas terletak pada wewenang (otoritas) dalam hal
merencanakan, memutuskan dan mengelola tugas yang menjadi kewenangan dia secara
mandiri. Konteks desentralisasi dalam pemahaman ini lebih mengutamakan bahwa
kewenangan yang diterima oleh daerah atau organisasi yang bersangkutan
menyangkut keseluruhan proses dalam kegiatan yang menjadi kewenangan dia. Mulai
dari perencanaan dan pengambilan keputusan, melaksanakan apa yang telah
direncanakan dan mengawasi serta mengevaluasi keberhasilan dari yang
dilaksanakan tersebut.
Desentralisasi diperlukan pada umumnya karena
faktor-faktor: 1) untuk pendidikan politik; 2) untuk latihan kepemimpinan
politik; 3) untuk memelihara stabilitas politik; 4) untuk mencegah konsentrasi
kekuasaan di pusat; 5) untuk memperkuat akuntabilitas publik; dan 6) untuk
meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat (Karim, 2003: 78-79).
Secara konseptual desentralisasi pendidikan memiliki
tujuan agar terdapat keterlibatan masyarakat dan sekolah serta pemerintah
daerah dalam pengelolaan pendidikaan semakin berkualitas. Pada sisi yang lain
desentralisasi pendidikan ini juga merupakan konsekuensi dari adanya demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dapat kita lihat bahwa desentralisasi
pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk
mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau
sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah.
Oleh karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan
politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait
dengan banyak hal. Berikut ini alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu: (1) kemampuan
daerah dalam membiaya pendidikan; (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi
penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah; (3) redistribusi kekuatan
politik; (4) peningkatan kualitas pendidikan; dan (5) peningkatan inovasi dalam
rangka pemuasan harapan seluruh warga Negara (Piqeo, 2000: 23).
Pelaksanaan Disentralisasi
Pendidikan
Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di
Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal positif pelaksanaanya,
misalanya banyaknya daerah terutama daerah yang kaya memiliki semangat
memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan meningkatkan anggara pendidikan
pada Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan
adalah menyederhanakan dan mempersingkat birokrasi pendidikan di daerah,
meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam mengelola pendidikan yang
lebih memungkinkan tercapainya pemerataan pendidikan pada daerah-daerah
terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini
adalah hal yang wajar karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah
dan dengan didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam upaya
pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi, kelembagaan,
keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk
dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi lebih sentral dalam desentralisasi
pendidikan (Armida, 200:3).
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan
desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada
bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan
desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota
saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung
tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi
pendidikan harus dikemas dalam program school based management (MBS), yakni
suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan
sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada
di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan
sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara
optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan
dan dikontrol (Hasbullah, 2010:56). MBS harus didukung oleh partisipasi
masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki
peran sebagai berikut:
a. Pemberi
pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan.
b. Pendukun
(supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga
dalam penyelenggaraan pendidikan.
c. Pengontrol
(controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
d.
Mediator antara pemerintah
(eksekutif) dan legislatif dengan masyarakat (Tilaar,
2004:30).
Selain itu salah satu upaya dalam menerapkan
desentralisasi pendidikan di sekolah, adalah dengan meningkatkan kapasitas
otonomi sekolah itu sendiri dengan cara sebagai berikut:
a. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
b.
Pelibatan Masyarakat
c.
Pemberdayaan Masyarakat
d.
Orientasi pada Kualitas
e. Meniadakan Penyeragaman (Hasbullah, 2010:56-63).
Namun dibalik
itu semua bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu
membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain,
keadaan pengembangan pendidikan di daearah belum menunjukkan perbedaan yang
berararti, atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan
desentralisasi pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu
justru malah menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh
wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah
dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh
Hasbullah antara lain:
1.
Masalah
Kurikulum
Kondisi
masyarakat Indonesia adalah heterogen dan masing-masing daerah mempunyai
kesiapan dan kemampuan yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi
pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan kurangnya
kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang
sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya. Untuk itu kurikulum suatu lembaga
pendidikan jangan hanya sekedar daftar mata pelajaran saja yang dituntut di
dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi
kondisi yang sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang kebijakan
perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan
diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan langsung pada msing-masing
sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan
daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal persentase
yang sangat kecil (Armida, 2000:8).
2.
Masalah
Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan pilar utama dalam mengimplementasikan
desentralisasi pendidikan, karena SDM
yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya
menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Misalnya ada beberapa
tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan diangkat dari mantan
camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan lain-lain. Meskipun para mantan
pejabat itu pernah mengurus orang banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik
dengan peserta didik adan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
3.
Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persolan dana
merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem
pendidikan di Indonesia. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah
karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal
ini semestinya tidak perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena
anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan
dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah ditegaskan dalan UU
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat
ini belum bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah eksekutif dan
legislatif belum menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan (UU
No 20 tahun 2003).
4.
Masalah
Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidkian antar
kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri,
baik manyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lainsebagainya.
Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi
kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
Sebagai gejala umum, jenjang dan jenis kelembagaan
pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga tampak satu sama lain tidak
mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi misalnya seolah-olah tidak
berkaitan dengan kelembagaan menengah (Hasbullah, 2010:20-29).
Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan, antara
lain:
1) Tidak
meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan
desentralisasi pendidikan dan kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan
untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara
penuh menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
2) Tidak
meratanya kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) dalam
menopang pembiayaan pendidikan di daerahn ya masing-masing, terutama
daerah-daerah miskin.
3) Belum
adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri
pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang
bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi
pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan memperbanyak sumber pendanaan dan
memperbesar akses terhadap informasi yang pada gilirannya akan dapat melahirkan
beragam metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara
perlahan-lahan, keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar
daerah (http://www.desentralisasi _pendidikan.com, diakses tanggal 26 Juni 2015).
Dengan demikian
dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama
aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan
yang mandiri dan profesional. Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada
kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah
sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan
memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput
(grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam
pembangunan pendidikan (Hasbullah, 2010:14-15).
Sumber:
Armida
S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas
Padjajaran, 2000).
Hasbullah,
Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan.
H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004).
http://www.desentralisasi _pendidikan.com,
diakses tanggal 26 Juni 2015.
Karim, Abdul Gaffar
(ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rondinelli, Dennis A.
Dan G Shabbir Chema (eds), 1983, Decentralization and Development: Policy
Implementation in Developing Countris, Beverly Hills/London/New
Delhi: Sage Publications.
Hamzah B. Uno, Profesi
Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia,
Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet, II, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar