Kamis, 24 Oktober 2019

DESENTRALISASI PENDIDIKAN


Desentralisasi pendidikan didefinisikan oleh Hamzah (2008) sebagai upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejabat Pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya, atau dari pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, atau dari pemerintah kepada masyarakat. Salah satu wujud dari desentralisasi ialah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Disini mengindikasikan bahwa penyerahan kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang ada di bawahnya sebagai pemahaman dari desentralisasi pendidikan. Bahwa melalui desentralisasi yang dalam pelaksanaannya disebutkan sebagai otonomi daerah adalah upaya melalui mana masyarakat memegang peranan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah.
Konsep desentralisasi banyak dikemukakan oleh para ahli dalam berbagai kajian ilmu politik maupun ilmu pemerintahan. Setiap ahli memberikan pemahaman yang berbeda baik dari aspek kewenangan, administrasi maupun hal lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Disentralisasi merupakan penyerahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan, atau administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi lapangannya, unit administratif lokal, semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintah daerah, atau lembaga swadaya masyarakat (Rondinelli, 1983:18).
Dalam penjelasan yang lebih jauh,  menjelaskan bentuk desentralisasi dapat dibedakan terutama oleh sejauhmana wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan mengelola diserahkan dari pemerintah pusat kepada organisasi lain dan berbagai daerah otonomi “organisasi terdesentralisasi” yang dilaksanakan dalam menjalankan tugas mereka. Dengan demikian substansi dari desentralisasi berdasarkan pengertian di atas terletak pada wewenang (otoritas) dalam hal merencanakan, memutuskan dan mengelola tugas yang menjadi kewenangan dia secara mandiri. Konteks desentralisasi dalam pemahaman ini lebih mengutamakan bahwa kewenangan yang diterima oleh daerah atau organisasi yang bersangkutan menyangkut keseluruhan proses dalam kegiatan yang menjadi kewenangan dia. Mulai dari perencanaan dan pengambilan keputusan, melaksanakan apa yang telah direncanakan dan mengawasi serta mengevaluasi keberhasilan dari yang dilaksanakan tersebut.
Desentralisasi diperlukan pada umumnya karena faktor-faktor: 1) untuk pendidikan politik; 2) untuk latihan kepemimpinan politik; 3) untuk memelihara stabilitas politik; 4) untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat; 5) untuk memperkuat akuntabilitas publik; dan 6) untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat (Karim, 2003: 78-79).
Secara konseptual desentralisasi pendidikan memiliki tujuan agar terdapat keterlibatan masyarakat dan sekolah serta pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikaan semakin berkualitas. Pada sisi yang lain desentralisasi pendidikan ini juga merupakan konsekuensi dari adanya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dapat kita lihat bahwa desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Oleh karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Berikut ini alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu: (1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan; (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah; (3) redistribusi kekuatan politik; (4) peningkatan kualitas pendidikan; dan (5) peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga Negara (Piqeo, 2000: 23).

Pelaksanaan Disentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal positif pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah yang kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dan mempersingkat birokrasi pendidikan di daerah, meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam mengelola pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan dengan didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan (Armida, 200:3).
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus dikemas dalam program school based management (MBS), yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan dan dikontrol (Hasbullah, 2010:56). MBS harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki peran sebagai berikut:
a.       Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
b.      Pendukun (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
c.       Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
d.      Mediator antara pemerintah (eksekutif)  dan  legislatif dengan masyarakat (Tilaar, 2004:30).
Selain itu salah satu upaya dalam menerapkan desentralisasi pendidikan di sekolah, adalah dengan meningkatkan kapasitas otonomi sekolah itu sendiri dengan cara sebagai berikut:
a.       Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
b.      Pelibatan Masyarakat
c.       Pemberdayaan Masyarakat
d.      Orientasi pada Kualitas
e.       Meniadakan Penyeragaman (Hasbullah, 2010:56-63).
Namun dibalik itu semua bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daearah belum menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh Hasbullah antara lain:
1.      Masalah Kurikulum
Kondisi masyarakat Indonesia adalah heterogen dan masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya. Untuk itu kurikulum suatu lembaga pendidikan jangan hanya sekedar daftar mata pelajaran saja yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi kondisi yang sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang kebijakan perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan langsung pada msing-masing sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal persentase yang sangat kecil (Armida, 2000:8).
2.      Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan pilar utama dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan, karena  SDM yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Misalnya ada beberapa tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan diangkat dari mantan camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan lain-lain. Meskipun para mantan pejabat itu pernah mengurus orang banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik dengan peserta didik adan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.


3.       Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persolan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah ditegaskan dalan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat ini belum bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah eksekutif dan legislatif belum menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan (UU No 20 tahun 2003).
4.      Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidkian antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik manyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lainsebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
Sebagai gejala umum, jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi misalnya seolah-olah tidak berkaitan dengan kelembagaan menengah (Hasbullah, 2010:20-29).
Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan, antara lain:
1)      Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan dan kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
2)      Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahn ya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
3)      Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap informasi yang pada gilirannya akan dapat melahirkan beragam metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara perlahan-lahan, keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar daerah (http://www.desentralisasi _pendidikan.com, diakses tanggal 26 Juni 2015).
Dengan demikian dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan (Hasbullah, 2010:14-15).















Sumber:
Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran, 2000).
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.
H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004).
 http://www.desentralisasi _pendidikan.com, diakses tanggal 26 Juni 2015.
Karim, Abdul Gaffar (ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rondinelli, Dennis A. Dan G Shabbir Chema (eds), 1983, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countris, Beverly Hills/London/New Delhi: Sage Publications.
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet, II, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sjahrir dalam "Perdjoeangan Kita"

Perjuangan Kita  atau  Perdjoeangan Kita  ( bahasa Belanda :  Onze Strijd ) adalah sebuah pamflet yang ditulis akhir Oktober 1945 oleh pemi...