A. Elite Politik dan Elite Sosial
Pengertiandan KonsepElite DalamPandangan Para Ahli
Sejarahwan mempelajari sesuatu melalui kajian yang menyeluruh dan dengan itulah para peneliti mengkontruksi apa yang di namakan sudut pandang penduduk asli, yaitu konsep-konsep dan katagori-katagori yang di gunakan untuk objek kajian, konsep bukanlah peralatan yang netral,konsep muncul sejalan dengan asumsi-asumsi yang harus di selidiki dengan cermat.maka dari itu kebernilaian sebuah konsep terletak pada penerapanya,masing masing istilah tersebut di bahas dengan merujuk kepada masalah-masalah kongret kesejarahaan.
Mengingat bahwa konsep-konsep pokok yang dig-unakan dalam teori sosial adalah konsep-konsep yang diciptakan oleh para pengkaji masyarakat Barat abad ke-19 dan ke-20 (atau dalam kasus antropologi, oleh peneliti Barat yang mengkaji masyarakat 'primitif' atau masyarakat 'suku'), maka amat sangat mungkin bahwa untuk menyebutnya secara cukup bersahabat konsep-konsep itu dipenganihi budaya (culture bound). Sering konsep-konsep itu dihubungkan dengan teori-teori perilaku sosial yang juga dipengaruhi budaya. Jadi, konsep-konsep itu mungkin perlu penyesuaian, tidak 'diterapkan' saja untuk periode-periode lain atau bagian-bagian lain dunia.
Adapun beberapa konsep yang perlu diperhatikan dalam konsep elite:
· Peran sosial
· Seks dan gender
· Komunitas dan identitas
· Kelas sosial
· Mobolitas sosial
· Kekuasaan
· Pusat dan pinggiran
· Hegemoni dan resistansi
· Gerakan sosial
· Mentalitas dan ideologi
· Komunikasi dan penerimaan
· Oralitas dan tekstualitas
· Mitos
Karasteristik Elite Politik
I. Faktor pendorong dan tujuan
Yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah menurut para teoritisi politik karena hanya dorongan kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik, menurut mereka merupakan permainan kekuasaan dan karena individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut, maka upaya pun mereka lakukan untuk memindahkan penekanan dari para elit dan kelompok kepada individu.
Tujuan politik adalah memaksa dan mendorong individu untuk membentuk kelompok-kelompok, serta mengaktualisasikan dirinya di dalam kelompok-kelompok tersebut.
II. Teori elite menurut ahli
Menurut Pareto, mereka yang menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit adalah orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan, atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarkat yang berbeda itu pada umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan pandai, mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral, dan sebagainya. Menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas yaitu :
1. Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite), dan elit yang tidak memerintah (non-governing)
2. Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Konsep pergantian elit juga dikembangkan oleh Pareto. Ia mengemukakan berbagai jenis pergantian elit, yaitu pergantian di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri dan di antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan seperti individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada dan individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Konsep ini didasarkan pada perbedaan antara tindakan logis dan non-logis dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksud tindakan logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Sedangkan yang dimaksud residu adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar enam residu, ia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu “kombinasi” dan residu “keuletan bersama” dengan bantuan elit yang memerintah, yang berusaha melestarikan kekuasaannya. Dalam pengertian sederhana, residu kombinasi diartikan sebagai kelicikan, dan residu keuletan bersama berarti kekerasan.
Selain Pareto, Gaetano Mosca (1858-1941) juga mengembangkan teori elit politik secara lebih jauh. Ia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki. Mosca menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Demokrasi, dan Aristokrasi. Menurut Mosca, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan.
Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik. Jadi, semakin besar suatu masyarakat politik, maka akan semakin kecil proporsi memerintah yang diatur oleh, dan semakin sulit bagi kelompok mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas. Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya pada pergantian elit politik. Namun karakteristik yang membedakan elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik. Sekali kelas memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang-orang di luar kelas itu menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca juga percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tidah dapat dihindari.
Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran “kekuatan sosial” tertentu.
Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang harus diperintah atas dasar prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisik. Inilah factor yang mendukung pengintegrasian lembaga-lembaga politik, rakyat, dan peradaban.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Karekteristik Elite Sosial
I. Pelapisan Sosial Ekonomi
Perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas tersebut dapat berlanjut dan memacu adanya persaingan, lebih-lebih jika penduduk di kota semakin bertambah banyak dan dengan adanya sekolah-sekolah yang beraneka ragam terjadilah berbagai spesialisasi di bidang keterampilan ataupun di bidang jenis mata pencaharian.
II. Ciri-ciri elite sosial masyarakat kota
a. Individualisme
Perbedaan status sosial-ekonomi maupun kultural dapat menimbulkan sifat “individualisme”. Sifat kegotongroyongan yang murni sudah sangat jarang dapat dijumpai di kota. Pergaulan tatap muka secara langsung dan dalam ukuran waktu yang lama sudah jarang terjadi, karena komunikasi lewat telepon sudah menjadi alat penghubung yang bukan lagi merupakan suatu kemewahan. Selain itu karena tingkat pendidikan warga kota sudah cukup tinggi, maka segala persoalan diusahakan diselesaikan secara perorangan atau pribadi, tanpa meminta pertimbangan keluarga lain.
b. Toleransi Sosial
Kesibukan masing-masing warga kota dalam tempo yang cukup tinggi dapat mengurangi perhatiannya kepada sesamanya. Apabila ini berlebihan maka mereka mampu akan mempunyai sifat acuh tak acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial. Di kota masalah ini dapat diatasi dengan adanya lembaga atau yayasan yang berkecimpung dalam bidang kemasyarakatan.
c. Jarak Sosial
Kepadatan penduduk di kota-kota memang pada umumnya dapat dikatakan cukup tinggi. Biasanya sudah melebihi 10.000 orang/km2. Jadi, secara fisik di jalan, di pasar, di toko, di bioskop dan di tempat yang lain warga kota berdekatan tetapi dari segi sosial berjauhan, karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.
Pelapisan Sosial
Perbedaan status, kepentingan dan situasi kondisi kehidupan kota mempunyai pengaruh terhadap sistem penilaian yang berbeda mengenai gejala-gejala yang timbul di kota. Penilaian dapat didasarkan pada latar belakang ekonomi, pendidikan dan filsafat. Perubahan dan variasi dapat terjadi, karena tidak ada kota yang sama persis struktur dan keadaannya.
Suatu hal yang perlu ditambahkan sebagai penjelasan ialah pengertian mengenai istilah “neighborhood”. Dalam pengertian “neighborhood” terkandung unsur-unsur fisis dan sosial, karena unsur-unsur tersebut terjalin menjadi satu unit merupakan satu unit tata kehidupan di kota. Unsur-unsurnya antara lain gedung-gedung sekolah, bangunan pertokoan, pasar, daerah-daerah terbuka untuk rekreasi, jalan kereta api, jalan mobil dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut menimbulkan kegiatan dan kesibukan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, sesungguhnya “neighborhood” ini sudah tidak merupakan hal baru bagi kita. Dalam kota terdapat banyak unit atau kelompok “neighborhood”, karena “neighborhood” ini dibatasi oleh beberapa persyaratan tertentu, antara lain:
- Lingkungan ini terbatas pada jarak pencapaian antara seseorang dengan toko atau sekolah, misalnya dapat dilakukan dengan jalan kaki.
- Bila seseorang terpaksa harus memakai kendaraan, maka pekerjaannya tidak perlu melalui lalu lintas yang ramai dan padat.
- Dari segi jumlah penduduk, maka satu unit “neighborhood” didiami oleh 5.000 sampai 6.000 orang. Untuk tempat-tempat di Indonesia angka ini tentu tidak akan sama dan mungkin akan menunjukkan angka yang lebih besar.
Sebuah unit “neighborhood” dapat terbentuk kalau terjadi jalinan dan interaksi sosial diantara warga kota sesamanya. Unit atau kelompok “neighborhood” ini dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi dapat juga terjadi dengan suatu perencanaan pembangunan kota, yaitu dengan merencanakan daerah-daerah lingkungan kehidupan yang khusus dan memenuhi persyaratan praktis dan menyenangkan. Bertambahnya penghuni kota baik berasal dari dari penghuni kota maupun dari arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan bertambahnya perumahan-perumahan yang berarti berkurangnya daerah-daerah kosong di dalam kota. Semakin banyaknya anak-anak kota yang menjadi semakin banyak pula diperlukan gedung-gedung sekolah. Bertambah pelajar dan mahasiswa berarti bertambah juga jumlah sepeda dan kendaraan bermotor roda dua. Toko-toko. Warung makan atau restoran bertambahnya terus sehingga makin mempercepat habisnya tanah-tanah kosong di dalam kota. Kota terpaksa harus diperluas secara bertahap menjauhi kota.
Peran Elite Politik Dalam Gerakan Sosial
Dalam study teoritis mengenai pergerakan sosial kita akan menemukan banyak pergerakan paradigma, terutama periode tahun 1940-an sampai 1990-an. Tahapan pertama ditandai oleh pandangan negatif terhadap pergerakan kemasyarakatan dan cenderung menjelaskannya dalam sudut pandang psikologi. Sudut pandang ini lebih karena pada masa-masa itu popularitas psikoanalis dan pengaruh dari nazisme, fasisme, stanilisme menguat. Tahapan kedua, teori pergerakan kemasyarakatan didasarkan pada pandangan positif. Penekanan lebih pada organisasi yang memiliki strategi rasional.
Secara definisi gerakan sosial memiliki penjelasan konseptual. Gerakan sosial dalam definisi Gore, “ semua gerakan sosial yang berjuang demi perubahan melibatkan sebuah wawasan yang baru, sebuah perspektif baru, sebuah perluasan atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan nilai yang telah ada “.
Gerakan sosial ( social movement ) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individuyang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. ( wikipedia.com ).
Golongan elite politik sendiri memiliki peranan yang penting terhadap suatu pergerakan politik. Karena, elite politik adalah kaum minoritas yang memimpin masyarakat atau wakil dari masyarakat, secara tidak langsung apa yang dilakukan oleh elite polotik atau diperintahkan akan dilaksanakan oleh masyarakat. Tanpa kaum elite politik pergerakan sosial akan sulit terjadi.
Peran Elite Sosial Terhadap Gerakan Sosial
Elite sosial merupakan kelompok sosial yang unggul, misalnya seperti kaum bangsawan. Elite sosial merujuk pada kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat. Kaum ini mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam kelompok masyarakatnya, lebih menonjol dan berpengaruh bagi masyarakat sekitarnya. Jika dibandingkan dengan elite politik, elite sosial memiliki cakupan yang lebih sempit, yaitu hanya di dalam kelompok masyarakat. Eksistensi kaum elite ditentukan oleh, sejauh mana mereka mampu mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Jika ditanya peran elite sosial terhadap gerakan sosial ? Tentu saja elite sosial juga memiliki peran yang penting seperti elite politik. Namun, bedanya adalah elite politik lebih kepada pemerintahan sedangkan elite sosial lebih kepada kehidupan bermasyarakat (sosial ). Elite sosial, biasanya memiliki peran sebagai pemimpin di dalam masyarakat atau penggerak masyarakat. Misalnya seperti, sesepuh, kepela desa, ketua RT, dan lain-lain. Intinya, elite politik sangat berperan juga terhadap terjadinya gerakan sosial.
B. Karakteristik Elite Tradisional Dan Elite Modern
Pada dasarnya elite sejati yang sebenarnya adalah yang menghindari kesombongan, arogansi, merasa paling tahu, paling hebat, atau paling benar. Elite sejati mengupayakan diri sebagai seorang yang punya nilai, punya sesuatu yang menjadikan dirinya sebagai rujukan, tempat bernaung. Seseorang atau lembaga yang diposisikan sebagai elite belum tentu dinyatakan sebagai orang yang bahagia, karena harapan yang digantungkan terlalu tinggi sementara realitasnya berbeda. Contohnya kita dapat melihat lembaga keuangan, kepolisian, kejaksaan dan lainnya merupakan lembaga yang terposisikan sebagai elite, bahkan selebriti. Selain selalu menjadi sumber berita, lembaga itu menjadi tumpuan harapan. Lembaga yang sangat berpengaruh terhadap pulihnya perekonomian dan penegakan keadilan (yang sebenar-benarnya adil).
· Elite Tradisional (yang berorientasi kosmologis/berdasarkan keturunan). Ada dua golongan elite tradisional yaitu:
1. Priyai golongan elite yang merupakan sekelompok lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan terkemuka di lingkungan kerajaan dan mempunyai martabat tinggi dalam masyarakat. Mereka terdiri atas golongan bangsawan, tentara, rohaniawan, atau pedagang kaya. Kaum bangsawan di Jawa dikenal sebagai bendoro, di Jawa Barat sebagai menak, bertingkat-tingkat sesuai dengan yang menurunkannya. Kaum pegawai di Jawa disebut sebagai priyai yang juga bertingkat-tingkat, mereka mudah dibedakan satu dengan yang lain berdasarkan pakaian dinasnya dengan kepangkatannya pada lengan baju atau daerah tempat tinggalnya. Jumlah tentara kerajaan dibandingkan dengan negara modern relatif kecil, karena kekuatan pertahanan terletak di bawah para bangsawan seperti bupati.
Kaum rohaniawan yang berfungsi dalam bidang agama memiliki kedudukan yang khas kaena karismanya. Mereka pada umumnya bertempat tinggal di lingkungan tempat ibadah seperti dekat pura untuk yang beragama Hindu, dan di dekat Masjid disebut kauman untuk yang beragama Islam. Dalam masyarakat Jawa dan Bali yang pernah mengenal sistem Kasta, pedagang di tempatkan sebagai golongan yang lebih rendah, masuk kasta Waisya, tetapi di Sumatra pedagang kaya termasuk kaum elite, mereka memperoleh sapaan sebagai urang kayo atau rangkayo di Sumatra Barat. Kedudukan dan martabatnya tidak kalah dengan kaum elite yang lain.
2. Syahbandar dalam sejarah lama syahbandar sebagai kepala pelabuhan memperoleh kedudukan sebagai kaum elite. Sebagian dari mereka terdiri atas orang asing. Hal ini disebabkan karena raja pada masa itu juga mempunyai penghasilan dari perdagangan, sehingga pejabat yang memegang peran penting dalam perdagangan diberi kedudukan istimewa. Pemakaian tenaga asing untuk jabatan tersebut disebabkan karena mereka dinilai ahli dalam perdagangan termasuk kemahiran memakai bahasa asing.
Komponen-komponen kekuasaan dalam elite tradisional adalah seorang pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki apa yang namanya kharisma (memiliki wahyu Tuhan atau Dewa), kewibawaan, wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifat-sifat lain yang menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin dalam masyarakat negara yang seperti itu.
Sifat keramat atau karisma seorang raja yang akhirnya seringkali menjadikan seorang raja harus mengisolasikan diri dari rakyatnya untuk tidak bertatap muka dan berdialok langsung dengan raja. Bahkan hingga pada sebuah pemikiran yang memang sengaja didoktrinkan kepada rakyat, bahwa seorang rakyat biasa tidak diperkenankan untuk melihat atau menatap wajahnya, karena hal itu adalah merupakan tindakan yang tidak sopan atau sangat dilarang. Hal demikian juga terjadi pada negara kuno Jepang, dimana masyarakatnya tidak diijinkan atau dilarang untuk memandang wajah seorang Kaisar Meiji yang berkuasa pada saat itu. Hal ini, tidak terlepas dengan indoktrinasi yang diberikan oleh pihak kerajaan bahwa raja adalah penjelmaan dari dewa.
Untuk Indonesia dan mungkin bagi seluruh elit yang ingin menjadi dan mempertahankan kekuasaannya, Koentjaraningrat mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin tradisional memiliki karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil, baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini pada dasarnya juga diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini.
· Elite Modern
Dalam perkembangan sejarahnya dengan ditandai kemajuan dari segi budaya, tehnologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional dari masyarakat, menjadikan konsepsi elit dalam memandang kekuasaan di masa kini (era modern) memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari konsepsi elit tradisional. Kalau untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya dalam negara tradisional, ia harus mengisolasi diri untuk tidak bertatap muka dan dialog dengan masyarakat walau dengan dalih karena seorang raja adalah keturunan dewa yang suci dan harus menjaga kesucian dan kekeramatannya itu, sedangkan masyarakat adalah manusia yang hina yang dapat mencemari kesuciannya. Disini jelas bahwa ada kemajuan berfikir yang lebih dan sangat maju antara elite tradisional dan elite modern. Terutama dalam keinginan untuk mempunyai pendidikan agar dapat lebih baik kemasa depannya kelak.
Maka dalam masyarakat modern, seorang pemimpin dalam membangun kewibawaan terhadap rakyatnya tidak lagi dengan menggunakan cara-cara yang demikian, tapi lebih pada baagaimana membangun citra yang baik dihadapan masyarakat. Ini artinya, mengharuskan seorang pemimpin untuk lebih dekat dengan rakyatnya, karena sumber legitimasi dan wewenang seorang penguasa, terlebih dalam negara yang telah menganut sitem politik demokrasi modern, bukan lagi para dewa dan roh nenek moyang, bukan pula kekuatan sakti yang terhimpun dalam pusaka-pusaka keramat, tetapi sumber kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin ada pada masyarakat.
Elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elite tradisional.Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis.
Kesimpulan perbandingan antara karakteristik elite tradisional dan elite modern:
Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara elit tradisional, dan elit masa kini (modern) dalam melihat kekuasaan dan kepemimpinan sebuah negara. Perbedaannya yang memdasar ada pada cara membangun karisma dan wibawa. Di mana dalam masayarakat tradisional memahami bahwa seorang pemimpin atau raja dalam sebuah negara tradisional (kuno) memandang untuk menjaga wibawa dan karisma, mengharuskan seorang raja harus memisahkan diri atau mengisolasikan dirinya dari kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan melalui indoktrinasi ajaran dari sebuah kepercayaan agama bahwa seorang raja adalah titisan dewa yang suci, maka rakyat yang dianggap hina harus menjauh atau dilarang untuk menatap dan berdialok dengan raja, karena dapat mencemari kesucian raja.
Berbeda kemudian dalam masyarakat masa kini (modern), dalam membangun karisma dan wibawa seorang pemimpin tidak lagi mengisolasikan diri dari kehidupan rakyatnya, justru sebaliknya seorang pemimpin harus lebih dikenal dan dekat dengan rakyat. Hal tidak lain karena legitimasi kepemimpina seseorang dalam negara modern bukan didapat dari dewa, atau hal-hal keramat sebagai mana dalam masyarakat kuno, tetapi legitimasi seorang pemimpin ada pada masyarakat itu sendiri, karena masyarakat lah yang langsung memilih seseorang untuk menjadi pemimpin mereka. Inilah yang mengharuska kewibawaan dan karisma seorang pemimpin harus dibangun melalui popularitas.