Minggu, 29 Januari 2012

SEJARAH SOSIAL

A. Elite Politik dan Elite Sosial
Pengertiandan KonsepElite DalamPandangan Para Ahli
Sejarahwan mempelajari sesuatu melalui kajian yang menyeluruh dan dengan itulah para peneliti mengkontruksi apa yang di namakan sudut pandang penduduk asli, yaitu konsep-konsep dan katagori-katagori yang di gunakan untuk objek kajian, konsep bukanlah peralatan yang netral,konsep muncul sejalan dengan asumsi-asumsi yang harus di selidiki dengan cermat.maka dari itu kebernilaian sebuah konsep terletak pada penerapanya,masing masing istilah tersebut di bahas dengan merujuk kepada masalah-masalah kongret kesejarahaan.
Mengingat bahwa konsep-konsep pokok yang dig-unakan dalam teori sosial adalah konsep-konsep yang diciptakan oleh para pengkaji masyarakat Barat abad ke-19 dan ke-20 (atau dalam kasus antropologi, oleh peneliti Barat yang mengkaji masyarakat 'primitif' atau masyarakat 'suku'), maka amat sangat mungkin bahwa untuk menyebutnya secara cukup bersahabat konsep-konsep itu dipenganihi budaya (culture bound). Sering konsep-konsep itu dihubungkan dengan teori-teori perilaku sosial yang juga dipengaruhi budaya. Jadi, konsep-konsep itu mungkin perlu penyesuaian, tidak 'diterapkan' saja untuk periode-periode lain atau bagian-bagian lain dunia.
Adapun beberapa konsep yang perlu diperhatikan dalam konsep elite:
·         Peran sosial
·         Seks dan gender
·         Komunitas dan identitas
·         Kelas sosial
·         Mobolitas sosial
·         Kekuasaan
·         Pusat dan pinggiran
·         Hegemoni dan resistansi
·         Gerakan sosial
·         Mentalitas dan ideologi
·         Komunikasi dan penerimaan
·         Oralitas dan tekstualitas
·         Mitos




Karasteristik Elite Politik
I.         Faktor pendorong dan tujuan
Yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah menurut para teoritisi politik karena hanya dorongan kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik, menurut mereka merupakan permainan kekuasaan dan karena individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut, maka upaya pun mereka lakukan untuk memindahkan penekanan dari para elit dan kelompok kepada individu.
Tujuan politik adalah memaksa dan mendorong individu untuk membentuk kelompok-kelompok, serta mengaktualisasikan dirinya di dalam kelompok-kelompok tersebut.
II.      Teori elite menurut ahli
Menurut Pareto, mereka yang menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit adalah orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan, atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarkat yang berbeda itu pada umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan pandai, mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral, dan sebagainya. Menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas yaitu :
1. Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite), dan elit yang tidak memerintah (non-governing)
2. Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Konsep pergantian elit juga         dikembangkan oleh Pareto. Ia mengemukakan berbagai jenis pergantian elit, yaitu pergantian di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri dan di antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan seperti individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada dan individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
 Konsep ini didasarkan pada perbedaan antara tindakan logis dan non-logis dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksud tindakan logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Sedangkan yang dimaksud residu adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar enam residu, ia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu “kombinasi” dan residu “keuletan bersama” dengan bantuan elit yang memerintah, yang berusaha melestarikan kekuasaannya. Dalam pengertian sederhana, residu kombinasi diartikan sebagai kelicikan, dan residu keuletan bersama berarti kekerasan.
Selain Pareto, Gaetano Mosca (1858-1941) juga mengembangkan teori elit politik secara lebih jauh. Ia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki. Mosca menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Demokrasi, dan Aristokrasi. Menurut Mosca, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan.
Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik. Jadi, semakin besar suatu masyarakat politik, maka akan semakin kecil proporsi memerintah yang diatur oleh, dan semakin sulit bagi kelompok mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas. Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya pada pergantian elit politik. Namun karakteristik yang membedakan elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik. Sekali kelas memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang-orang di luar kelas itu menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca juga percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tidah dapat dihindari.
Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran “kekuatan sosial” tertentu.
Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang harus diperintah atas dasar prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisik. Inilah factor yang mendukung pengintegrasian lembaga-lembaga politik, rakyat, dan peradaban.

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Karekteristik Elite Sosial
I.     Pelapisan Sosial Ekonomi
Perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas tersebut dapat berlanjut dan memacu adanya persaingan, lebih-lebih jika penduduk di kota semakin bertambah banyak dan dengan adanya sekolah-sekolah yang beraneka ragam terjadilah berbagai spesialisasi di bidang keterampilan ataupun di bidang jenis mata pencaharian.
II.      Ciri-ciri elite sosial masyarakat kota
a.      Individualisme
Perbedaan status sosial-ekonomi maupun kultural dapat menimbulkan sifat “individualisme”. Sifat kegotongroyongan yang murni sudah sangat jarang dapat dijumpai di kota. Pergaulan tatap muka secara langsung dan dalam ukuran waktu yang lama sudah jarang terjadi, karena komunikasi lewat telepon sudah menjadi alat penghubung yang bukan lagi merupakan suatu kemewahan. Selain itu karena tingkat pendidikan warga kota sudah cukup tinggi, maka segala persoalan diusahakan diselesaikan secara perorangan atau pribadi, tanpa meminta pertimbangan keluarga lain.
b.      Toleransi Sosial
Kesibukan masing-masing warga kota dalam tempo yang cukup tinggi dapat mengurangi perhatiannya kepada sesamanya. Apabila ini berlebihan maka mereka mampu akan mempunyai sifat acuh tak acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial. Di kota masalah ini dapat diatasi dengan adanya lembaga atau yayasan yang berkecimpung dalam bidang kemasyarakatan.
c.       Jarak Sosial
Kepadatan penduduk di kota-kota memang pada umumnya dapat dikatakan cukup tinggi. Biasanya sudah melebihi 10.000 orang/km2. Jadi, secara fisik di jalan, di pasar, di toko, di bioskop dan di tempat yang lain warga kota berdekatan tetapi dari segi sosial berjauhan, karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.
Pelapisan Sosial
Perbedaan status, kepentingan dan situasi kondisi kehidupan kota mempunyai pengaruh terhadap sistem penilaian yang berbeda mengenai gejala-gejala yang timbul di kota. Penilaian dapat didasarkan pada latar belakang ekonomi, pendidikan dan filsafat. Perubahan dan variasi dapat terjadi, karena tidak ada kota yang sama persis struktur dan keadaannya.
Suatu hal yang perlu ditambahkan sebagai penjelasan ialah pengertian mengenai istilah “neighborhood”. Dalam pengertian “neighborhood” terkandung unsur-unsur fisis dan sosial, karena unsur-unsur tersebut terjalin menjadi satu unit merupakan satu unit tata kehidupan di kota. Unsur-unsurnya antara lain gedung-gedung sekolah, bangunan pertokoan, pasar, daerah-daerah terbuka untuk rekreasi, jalan kereta api, jalan mobil dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut menimbulkan kegiatan dan kesibukan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, sesungguhnya “neighborhood” ini sudah tidak merupakan hal baru bagi kita. Dalam kota terdapat banyak unit atau kelompok “neighborhood”, karena “neighborhood” ini dibatasi oleh beberapa persyaratan tertentu, antara lain:
  • Lingkungan ini terbatas pada jarak pencapaian antara seseorang dengan toko atau sekolah, misalnya dapat dilakukan dengan jalan kaki.
  • Bila seseorang terpaksa harus memakai kendaraan, maka pekerjaannya tidak perlu melalui lalu lintas yang ramai dan padat.
  • Dari segi jumlah penduduk, maka satu unit “neighborhood” didiami oleh 5.000 sampai 6.000 orang. Untuk tempat-tempat di Indonesia angka ini tentu tidak akan sama dan mungkin akan menunjukkan angka yang lebih besar.
Sebuah unit “neighborhood” dapat terbentuk kalau terjadi jalinan dan interaksi sosial diantara warga kota sesamanya. Unit atau kelompok “neighborhood” ini dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi dapat juga terjadi dengan suatu perencanaan pembangunan kota, yaitu dengan merencanakan daerah-daerah lingkungan kehidupan yang khusus dan memenuhi persyaratan praktis dan menyenangkan. Bertambahnya penghuni kota baik berasal dari dari penghuni kota maupun dari arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan bertambahnya perumahan-perumahan yang berarti berkurangnya daerah-daerah kosong di dalam kota. Semakin banyaknya anak-anak kota yang menjadi semakin banyak pula diperlukan gedung-gedung sekolah. Bertambah pelajar dan mahasiswa berarti bertambah juga  jumlah sepeda dan kendaraan bermotor roda dua. Toko-toko. Warung makan atau restoran bertambahnya terus sehingga makin mempercepat habisnya tanah-tanah kosong di dalam kota. Kota terpaksa harus diperluas secara bertahap menjauhi kota.

Peran Elite Politik Dalam Gerakan Sosial
Dalam study teoritis mengenai pergerakan sosial kita akan menemukan banyak pergerakan paradigma, terutama periode tahun 1940-an sampai 1990-an. Tahapan pertama ditandai oleh pandangan negatif terhadap pergerakan kemasyarakatan dan cenderung menjelaskannya dalam sudut pandang psikologi. Sudut pandang ini lebih karena pada masa-masa itu popularitas psikoanalis dan pengaruh dari nazisme, fasisme, stanilisme menguat. Tahapan kedua, teori pergerakan kemasyarakatan didasarkan pada pandangan positif. Penekanan lebih pada organisasi yang memiliki strategi rasional.
Secara definisi gerakan sosial memiliki penjelasan konseptual. Gerakan sosial dalam definisi Gore, “ semua gerakan sosial yang berjuang demi perubahan melibatkan sebuah wawasan yang baru, sebuah perspektif baru, sebuah perluasan atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan nilai yang telah ada “.
Gerakan sosial ( social movement ) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individuyang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. ( wikipedia.com ).
Golongan elite politik sendiri memiliki peranan yang penting terhadap suatu pergerakan politik. Karena, elite politik adalah kaum minoritas yang memimpin masyarakat atau wakil dari masyarakat, secara tidak langsung apa yang dilakukan oleh elite polotik atau diperintahkan akan dilaksanakan oleh masyarakat. Tanpa kaum elite politik pergerakan sosial akan sulit terjadi. 

Peran Elite Sosial Terhadap Gerakan Sosial
Elite sosial merupakan kelompok sosial yang unggul, misalnya seperti kaum bangsawan. Elite sosial merujuk pada kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat. Kaum ini mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam kelompok masyarakatnya, lebih menonjol dan berpengaruh bagi masyarakat sekitarnya. Jika dibandingkan dengan elite politik, elite sosial memiliki cakupan yang lebih sempit, yaitu hanya di dalam kelompok masyarakat. Eksistensi kaum elite ditentukan oleh, sejauh mana mereka mampu mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Jika ditanya peran elite sosial terhadap gerakan sosial ? Tentu saja elite sosial juga memiliki peran yang penting seperti elite politik. Namun, bedanya adalah elite politik lebih kepada pemerintahan sedangkan elite sosial lebih kepada kehidupan bermasyarakat (sosial ). Elite sosial, biasanya memiliki peran sebagai pemimpin di dalam masyarakat atau penggerak masyarakat. Misalnya seperti, sesepuh, kepela desa, ketua RT, dan lain-lain. Intinya, elite politik sangat berperan juga terhadap terjadinya gerakan sosial.

B.  Karakteristik Elite Tradisional Dan Elite Modern
Pada dasarnya elite sejati yang sebenarnya adalah yang menghindari kesombongan, arogansi, merasa paling tahu, paling hebat, atau paling benar. Elite sejati mengupayakan diri sebagai seorang yang punya nilai, punya sesuatu yang menjadikan dirinya sebagai rujukan, tempat bernaung. Seseorang atau lembaga yang diposisikan sebagai elite belum tentu dinyatakan sebagai orang yang bahagia, karena harapan yang digantungkan terlalu tinggi sementara realitasnya berbeda. Contohnya kita dapat melihat lembaga keuangan, kepolisian, kejaksaan dan lainnya merupakan lembaga yang terposisikan sebagai elite, bahkan selebriti. Selain selalu menjadi sumber berita, lembaga itu menjadi tumpuan harapan. Lembaga yang sangat berpengaruh terhadap pulihnya perekonomian dan penegakan keadilan (yang sebenar-benarnya adil).

·         Elite Tradisional (yang berorientasi kosmologis/berdasarkan keturunan).                Ada dua golongan elite tradisional yaitu:
1.      Priyai                                                                                                              golongan elite yang merupakan sekelompok lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan terkemuka di lingkungan kerajaan dan mempunyai martabat tinggi dalam masyarakat. Mereka terdiri atas golongan bangsawan, tentara, rohaniawan, atau pedagang kaya. Kaum bangsawan di Jawa dikenal sebagai bendoro, di Jawa Barat sebagai menak, bertingkat-tingkat sesuai dengan yang menurunkannya. Kaum pegawai di Jawa disebut sebagai priyai yang juga bertingkat-tingkat, mereka mudah dibedakan satu dengan yang lain berdasarkan pakaian dinasnya dengan kepangkatannya pada lengan baju atau daerah tempat tinggalnya. Jumlah tentara kerajaan dibandingkan dengan negara modern relatif kecil, karena kekuatan pertahanan terletak di bawah para bangsawan seperti bupati.
Kaum rohaniawan yang berfungsi dalam bidang agama memiliki kedudukan yang khas kaena karismanya. Mereka pada umumnya bertempat tinggal di lingkungan tempat ibadah seperti dekat pura untuk yang beragama Hindu, dan di dekat Masjid disebut kauman untuk yang beragama Islam. Dalam masyarakat Jawa dan Bali yang pernah mengenal sistem Kasta, pedagang di tempatkan sebagai golongan yang lebih rendah, masuk kasta Waisya, tetapi di Sumatra pedagang kaya termasuk kaum elite, mereka memperoleh sapaan sebagai urang kayo atau rangkayo di Sumatra Barat. Kedudukan dan martabatnya tidak kalah dengan kaum elite yang lain.
2.      Syahbandar                                                                                                   dalam sejarah lama syahbandar sebagai kepala pelabuhan memperoleh kedudukan sebagai kaum elite. Sebagian dari mereka terdiri atas orang asing. Hal ini disebabkan karena raja pada masa itu juga mempunyai penghasilan dari perdagangan, sehingga pejabat yang memegang peran penting dalam perdagangan diberi kedudukan istimewa. Pemakaian tenaga asing untuk jabatan tersebut disebabkan karena mereka dinilai ahli dalam perdagangan termasuk kemahiran memakai bahasa asing.
Komponen-komponen kekuasaan dalam elite tradisional adalah seorang pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki apa yang namanya kharisma (memiliki wahyu Tuhan atau Dewa), kewibawaan, wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifat-sifat lain yang menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin dalam masyarakat negara yang seperti itu.
Sifat keramat atau karisma seorang raja yang akhirnya seringkali menjadikan seorang raja harus mengisolasikan diri dari rakyatnya untuk tidak bertatap muka dan berdialok langsung dengan raja. Bahkan hingga pada sebuah pemikiran yang memang sengaja didoktrinkan kepada rakyat, bahwa seorang rakyat biasa tidak diperkenankan untuk melihat atau menatap wajahnya, karena hal itu adalah merupakan tindakan yang tidak sopan atau sangat dilarang. Hal demikian juga terjadi pada negara kuno Jepang, dimana masyarakatnya tidak diijinkan atau dilarang untuk memandang wajah seorang Kaisar Meiji yang berkuasa pada saat itu. Hal ini, tidak terlepas dengan indoktrinasi yang diberikan oleh pihak kerajaan bahwa raja adalah penjelmaan dari dewa.
Untuk Indonesia dan mungkin bagi seluruh elit yang ingin menjadi dan mempertahankan kekuasaannya, Koentjaraningrat mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin tradisional memiliki karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil, baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini pada dasarnya juga diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini.

·         Elite Modern
Dalam perkembangan sejarahnya dengan ditandai kemajuan dari segi budaya, tehnologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional dari masyarakat, menjadikan konsepsi elit dalam memandang kekuasaan di masa kini (era modern) memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari konsepsi elit tradisional. Kalau untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya dalam negara tradisional, ia harus mengisolasi diri untuk tidak bertatap muka dan dialog dengan masyarakat walau dengan dalih karena seorang raja adalah keturunan dewa yang suci dan harus menjaga kesucian dan kekeramatannya itu, sedangkan masyarakat adalah manusia yang hina yang dapat mencemari kesuciannya. Disini jelas bahwa ada kemajuan berfikir yang lebih dan sangat maju antara elite tradisional dan elite modern. Terutama dalam keinginan untuk mempunyai pendidikan agar dapat lebih baik kemasa depannya kelak.

 Maka dalam masyarakat modern, seorang pemimpin dalam membangun kewibawaan terhadap rakyatnya tidak lagi dengan menggunakan cara-cara yang demikian, tapi lebih pada baagaimana membangun citra yang baik dihadapan masyarakat. Ini artinya, mengharuskan seorang pemimpin untuk lebih dekat dengan rakyatnya, karena sumber legitimasi dan wewenang seorang penguasa, terlebih dalam negara yang telah menganut sitem politik demokrasi modern, bukan lagi para dewa dan roh nenek moyang, bukan pula kekuatan sakti yang terhimpun dalam pusaka-pusaka keramat, tetapi sumber kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin ada pada masyarakat.
Elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elite tradisional.Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. 
Kesimpulan perbandingan antara karakteristik elite tradisional dan elite modern:
  Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara elit  tradisional, dan elit masa kini (modern) dalam melihat kekuasaan dan kepemimpinan sebuah negara. Perbedaannya yang memdasar ada pada cara membangun karisma dan wibawa. Di mana dalam masayarakat tradisional memahami bahwa seorang pemimpin atau raja dalam sebuah negara tradisional (kuno) memandang untuk menjaga wibawa dan karisma, mengharuskan seorang raja harus memisahkan diri atau mengisolasikan dirinya dari kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan melalui indoktrinasi ajaran dari sebuah kepercayaan agama bahwa seorang raja adalah titisan dewa yang suci, maka rakyat yang dianggap hina harus menjauh atau dilarang untuk menatap dan berdialok dengan raja, karena dapat mencemari kesucian raja.
Berbeda kemudian dalam masyarakat masa kini (modern), dalam membangun karisma dan wibawa seorang pemimpin tidak lagi mengisolasikan diri dari kehidupan rakyatnya, justru sebaliknya seorang pemimpin harus lebih dikenal dan dekat dengan rakyat. Hal tidak lain karena legitimasi kepemimpina seseorang dalam negara modern bukan didapat dari dewa, atau hal-hal keramat sebagai mana dalam masyarakat kuno, tetapi legitimasi seorang pemimpin ada pada masyarakat itu sendiri, karena masyarakat lah yang langsung memilih seseorang untuk menjadi pemimpin mereka. Inilah yang mengharuska kewibawaan dan karisma seorang pemimpin harus dibangun melalui popularitas.

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN (PERJUANGAN DAERAH PALEMBANG - PERISTIWA FRONT LANGKAN)

A.   Perlawanan Daerah Palembang
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall. Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der CapellenConstantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de KockPangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya. SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang. merundingkannya dengan Laksamana dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819. SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.

Setelah melalui penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin dan sultan ahmad najamuddin prabu anom )dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi sudah diketahui oleh belanda serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. di depan sekali kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin Diauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan Ratu Bahmud Badaruddin / SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak saudaranya sendiri yang berada dikapal belanda dan anggapan orang sultan palembang Darussalam sampai hati membunuh saudara karena harta / tahta.
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang. Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.

1.     Perang Lima Hari Lima Malam

1 Januari 1947
Dari RS. Charitas terjadi rentetan tembakan disusul oleh ledakan-ledakan dahsyat kearah kedudukan pasukan kita yang bahu membahu dengan Tokoh masyarakat bergerak dari pos di Kebon Duku (24 Ilir Sekarang) mulai dari Jalan Jenderal Sudirman terus melaju kearah Borsumij, Bomyetty Sekanak, BPM, Talang Semut.
2 Januari 1947
Diperkuat dengan Panser dan Tank Canggih Belanda bermaksud menyerbu dan menduduki markas Tentara Indonesia di Masjid Agung Palembang. Pasukan Batalyon Geni dibantu oleh Tokoh Masyarakat bahu membahu memperkuat barisan mengobarkan semangat jihad yang akhirnya dapat berhasil mempertahankan Masjid Agung dari serangan sporadis Belanda. Pasukan bantuan belanda dari Talang Betutu gagal menuju masjid agung karena disergab oleh pasukan Lettu. Wahid Luddien sedangkan pada hari kedua Lettu Soerodjo tewas ketika menyerbu Javache Bank. Diseberang ulu Lettu. Raden. M menyerbu kedudukan strategis belanda di Bagus Kuning dan berhasil mendudukinya untuk sementara. Bertepatan dengan masuknya pasukan bantuan kita dari Resimen XVII Prabumulih
3 Januari 1947
Pertempuran yang semakin sengit kembali memakan korban perwira penting Lettu. Akhmad Rivai yang tewas terkena meriam kapal perang belanda di sungai seruju. Keberhasilan gemilang diraih oleh Batalyon Geni pimpinan Letda Ali Usman yang sukses menhancurkan Tiga Regu Kaveleri Gajah Merah Belanda. Meskipun Letda Ali Usman terluka parah pada lengan.
Pasukan lini dua kita yang bergerak dilokasi keramat Candi Walang (24 Ilir) menjaga posisi untuk menghindari terlalu mudah bagi belanda memborbardir posisi mereka. Sedangkan pasukan Ki.III/34 di 4 Ulu berhasil menenggelamkan satu kapal belanda yang sarat dengan mesiu. Akibatnya pesawat-pesawat mustang belanda mengamuk dan menghantam selama 2 jam tanpa henti posisi pasukan ini.
Pada saat ini pasukan bantuan kita dari Lampung, Lahat dan Baturaja tiba dikertapati namun kesulitan memasuki zona sentral pertempuran diareal masjid agung dan sekitar akibat dikuasainya Sungai Musi oleh Pasukan Angkatan Laut Belanda.
4 Januari 1947
Belanda mengalami masalah amunisi dan logistik akibat pengepungan hebat dari segala penjuru oleh tentara dan rakyat, sedangkan tentara kita mendapat bantuan dari Tokoh masyarakat dan pemuka adat yang mengerahkan pengikutnya untuk membuka dapur umum dan lokasi persembunyian serta perawatan umum.
Pasukan Mayor Nawawi yang mendarat di keramasan terus melaju ke pusat kota melalui jalan Demang Lebar Daun. Bantuan dari pasukan ke masjid agung terhadang di Simpang empat BPM, Sekanak, dan Kantor Keresidenan oleh pasukan belanda sehingga bantuan belum bisa langsung menuju kewilayah charitas dan sekitar.
5 Januari 1947
Pada hari ke Lima panser belanda serentak bergerak maju kearah Pasar Cinde namun belum berani maju karena perlawanan sengit dari Pasukan Mobrig kita pimpinan Inspektur Wagiman dibantu oleh Batalyon Geni. Sedangkan pasukat belanda dijalan merdeka mulai sekanak tetap tertahan tidak mampu mendekati masjid agung. Akibat kesulitan tentara belanda dibidang logistik dan kesulitan yang lebih besar pada pihak kita pada bidang amunisi akhirnya dibuat kesepakatan untuk mengadakan Cease Fire. Yang isinya adalah:
Pasukan dari Kebun Duku diperintahkan untuk menyerang Jalan Jawa lama dan 11 Siang telah menyusun barisan berangkat ke kenten. Tiba-tiba dalam perjalanan Kapal Belanda menembaki rumah sekolah yang dihuni oleh Batalyon Geni dan Laskar Nepindo sehingga pihak kita mengalami banyak kerugian dan korban jiwa.
Dalam Cease Fire TKR dan laskar serta badan-badan perlawanan rakyat diperintahkan mundur sejauh 20 KM dari kota palembang atas perintah Komandan Divisi II Kolonel Bambang Utoyo. Sedangkan dikota palembang hanya diperbolehkan pasukan ALRI dan unsur sipil dari RI yang tinggal.

2.     Peristiwa Front Langkan

Terbentuknya Front Langkan sangat erat hubungannya dengan peristiwa Pertempuran lima hari lima malam dikota Palembang tanggal 1 januari – 5 januari 1947. Untuk menghindari jatuh korban yang lebih banyak, maka beberapa kali diadakan perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda di Palembang.
        Tercapai persetujuan penghentian tembak menembak (cease fire).
        Didalam point kesepakatan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) harus keluar dari kota Palembang dan Talang Betutu sejauh 20 KM, termasuk juga pasukan Batalyon 30 Resimen 17 di Front Talang Betutu yang dipimpin oleh Kapten Animan Achyat. Pada waktu itu Batalyon 30 Resimen 17 bertugas memutuskan hubungan serta menghambat dan mengganggu konvoi pasukan Belanda yang mensupplay bahan-bahan makanan termasuk air dan BBM dari kota Palembang ke lapangan terbang Talang Betutu.
        Menurut perhitungan pihak TRI bahwa jarak 20 KM dari Talang Betutu adalah sekitar Musi Landas. Sehingga semua pasukan termasuk Batalyon 30 Resimen 17 dan laskar-laskar diperintahkan mundur dan berkumpul di Musi Landas. Jadi Musi Landas dijadikan garis pertahanan TRI dan Laskar, karena pada waktu itu belum ada badan/komisi Arbitrase yang menentukan jarak 20 KM tersebut.
        Rupanya pihak Belanda tidak mau menerimanya, akibatnya pada tanggal 15 Januari 1947 sekitar jam 07.00 pagi pihak Belanda melakukan serangan secara mendadak kepada pasukan TRI di Musi Landas, sehingga pertempuran tidak bisa dihindari lagi. Pasukan TRI melakukan perlawanan dengan cara menembak sasaran yang tepat sambil mundur kearah desa Langkan, sedang pihak Belanda dengan menggunakan persenjataan modern dengan amunisi yang tidak terbatas menyerang pasukan TRI dengan tembakan tanpa sasaran, ternyata serangan tersebut adalah untuk mengusir pasukan TRI dari Musi Landas yang menurut mereka kurang dari 20 KM dari lapangan terbang Talang betutu. Dalam pertempuran ini tidak ada yang menjadi korban, hanya kerugian barang-barang infentaris Batalyon 30 Resimen 17 yang tertinggal di Musi Landas.
        Pada tanggal 15 pebruari 1947 dusun Langkan ditetapkan menjadi front terdepan garis pertahanan Indonesia oleh Komandan Batalyon 30 Resimen 17, dikarenakan letak dusun langkan pada waktu itu menyimpang masuk kedalam sekitar 2 KM dari jalan raya Palembang-Sekayu. Pada waktu itu di dusun Langkan terdiri dari 10 buah rumah limas cagak dari kayu dan semua rumah rakyat itu dipakai oleh pasukan TRI dan sebuah rumah dipakai sebagai dapur umum pasukan.
        Front Langkan ini dipertahankan oleh pasukan seksi istimewa. Ditunjuk sebagai seksi istimewa Letnan Muda A. Kosim Dahayat dengan wakilnya OM Muksin Syamsuddin.
        Untuk mempertahankan daerah langkan dari serangan Belanda maka di buatlah 2 kubu pertahanan yang masing-masing :
  1. Pertahanan minyak atau pertahanan palsu, gunanya untuk menghambat pasukan pihak Belanda yang akan maju menyerang Pasukan TRI. Pertahanan ini semua orang yang lalu lalang dan masyarakat sekitar mengetahui bahwa pertahanan pasukan ada disini, terutama sekali pihak mata-mata Belanda. Pertahanan ini letaknya dibelakang garis pertahanan yang sebenarnya, jaraknya sekitar 500 meter, tepatnya berlokasi didekat danau tepian mandi ketika itu.
  2. Pertahanan yang sebenarnya atau Asli adalah pertahanan yang akan dipergunakan untuk bertahan, kubu pertahanan ini sangat dirahasiakan dan tersembunyi dari masyarakat umum dan lalu-lalang orang, siapapun yang berani melintasi daerah sekitar pertahanan ini harus dilenyapkan. Bentuk pertahanan ini terdiri dari galian tanah bentuk lubang perlindungan dan lubang komando antar regu. Dalam lubang ini 1 meter dan lebar 50 cm panjangnya 100 meter dari kiri kanan jalan raya palembang-sekayu. Pada bagian depan lubang pertahanan ini dipasang kawat berduri setinggi tiarap sebagai brikade sejauh 10 meter maju kedepan garis lubang pertahanan. Pada badan jalan raya Palembang-Sekayu diputuskan dan tanahnya digali, dibuat berupa lubang pertahanan anti tank baja. Pada sekitarnya ditanami berupa rumput-rumput yang menjalar sehingga terkesan bahwa disekitar ini tidak ada pertahanan lubang anti tank.
        Pada tanggal 17 juli 1947 untuk menghadapi agresi Belanda maka Batalyon 30 Resimen 17 mengadakan perubahan dan penyegaran, yaitu perubahan nama dari Tentara Republik Indonesia (TRI) menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Perubahan dari Batalyon 30 Resimen 17 menjadi Batalyon 30 Resimen 45 Brigade pertempuran, Penggantian komandan Batalyon dari Kapten Animan Achyat kepada Kapten Usman Bakar merangkap jabatan komandan sektor III kiri Musi Banyuasin dan Pendopo area.
        Pada tanggal 21 Juli 1947 pada hari ketiga ramadhan, lebih kurang jam 06.00 pagi, Belanda mulai melancarkan agresinya dengan melakukan serangan besar-besaran ke Front Langkan yang didahului oleh tembakan meriam Gawetser dari jarak jauh. Mendengar tembakan tersebut pasukan TNI segera menempati posisi masing-masing, dan pada akhirnya terjadi perang secara frontal antara pasukan TNI dengan pasukan Belanda. Pasukan TNI yang bersenjata Jukikanju melawan pasukan Belanda yang terdiri dari serangan udara, pasukan darat, pasukan tank dan senjata berat berupa meriam Gawetser.
        Pada peristiwa pertempuran yang sengit tersebut, perbandingan persenjataan serta peralatan tempur pasukan TNI tidak seimbang, namun banyak serdadu Belanda yang gugur, karena motto pasukan TNI adalah satu butir peluru yang ditembakkan sama dengan satu orang musuh. Melihat keadaan tersebut, maka Belanda mendatangkan lagi bala bantuan untuk menambah pasukan.
        Untuk menembus pertahanan TNI dari arah depan, maka pihak Belanda mengalihkan serangannya kearah sayap kanan dari garis pertahanan TNI dengan taktik untuk memblokade pasukan TNI, akhirnya pasukan TNI kewalahan dan akhirnya komandan Usman Bakar menyerukan pasukan untuk mundur menuju desa Pangkalan Panji sekitar jam 15.00 sore. Sambil pasukan mundur dibakarlah pertahanan minyak yang dipompa dari keluang sehingga danau tempat pemandian menjadi seperti lautan api, tujuannya hanya untuk menghambat kemajuan pasukan Belanda dan agar pasukan TNI tidak kucar-kacir sambil mundur. Pada malam itu pihak musuh belum berani maju melintasi pertahanan di Front Langkan karena satu regu selaku regu pengawal ditempatkan di desa Langkan.
        Dalam perang ini pasukan Batalyon 30 Resimen 45 kehilangan dua orang, yaitu :
1. Sersan satu Yusuf Jepang yang bertugas menembakkan senapan  Jukikanju hasil rampasan gudang senjata Jepang di Pendopo.
            2. Kopral A. Hamid
        Dari dusun Pangkalan Panji, pasukan TNI terus mundur kedusun Pangkalan Balai dan terus mundur ke dusun Seterio. Sampai didesa Seterio hari sudah siang dan pasukan TNI beristirahat, tetapi saat pasukan TNI sedang beristirahat di dusun Seterio tiba-tiba kapal terbang milik Belanda berputar-putar diatas dusun Seterio dan dengan gencarnya kapal terbang ini menembaki pasukan TNI yang sedang beristirahat, sehingga pasukan TNI terpaksa berlindung dibawah rumah penduduk dan dibawah kayu besar, lebih kurang 2 putaran kapal terbang milik Belanda menembaki pasukan TNI tanpa mendapat perlawanan dari pasukan TNI.
          Setelah aman dari kapal terbang, pasukan TNI terus mundur ke dusun Lubuk Lancang, setibanya di Lubuk Lancang pasukan TNI membuat lubang pertahanan dibukit-bukit Lubuk Lancang. Belum selesai menggali lubang pertahanan sudah datang lagi kapal terbang musuh, berputar-putar berkeliling menembaki pasukan TNI, pada saat itu TNI tidak bisa berbuat apa-apa, hanya berlindung dalam lubang galian dan bersembunyi dibawah batang kayu besar. Setelah keadaan aman dan kapal terbang sudah pergi, pasukan TNI terus mundur ke Betung dan Epil. Perjalanan mundur pasukan TNI yang diiringi tembakan dari kapal terbang Belanda tidak membuat gentar TNI walaupun tidak dapat membalas serangan tersebut.
        Dalam pertempuran di front langkan antara pasukan TNI dan pasukan Belanda banyak serdadu Belanda yang gugur dan menjadi kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan, oleh karena itu pasukan Belanda menamakan pasukan TNI yang ada di langkan dengan nama Setan Langkan.

Berikut ini adalah gambar dari monument Front Langkan yang ada di daerah Langkan, Banyuasin.

 

Sjahrir dalam "Perdjoeangan Kita"

Perjuangan Kita  atau  Perdjoeangan Kita  ( bahasa Belanda :  Onze Strijd ) adalah sebuah pamflet yang ditulis akhir Oktober 1945 oleh pemi...